Air minum tidak pernah sekadar cairan bening yang mengalir ke gelas. Ia adalah penopang hidup, penjaga martabat, dan penentu masa depan kesehatan manusia.
—
Di Indonesia hari ini, wajah pemenuhan air minum rumah tangga telah berubah. Sumur perlahan ditinggalkan, air perpipaan belum sepenuhnya menjangkau, dan di antara celah kebutuhan itulah Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) tumbuh subur, cepat, masif, dan nyaris tak terbendung.
Data pertumbuhan DAMIU menunjukkan fakta yang tak bisa diabaikan: sekitar 31-39% rumah tangga Indonesia menjadikan air minum isi ulang sebagai sumber utama air minum.
Kementerian Perindustrian mencatat pada tahun 2023, 31,87% penduduk Indonesia bergantung pada DAMIU. Ini berarti, hampir satu dari tiga warga negara menggantungkan hak dasarnya pada kualitas air yang diolah oleh depot-depot kecil di sekitar rumah warga.
Pada titik ini, DAMIU berhenti menjadi sekadar usaha ekonomi. Ia menjelma menjadi simpul strategis kesehatan publik.
Pertumbuhan DAMIU di Indonesia menyerupai arus deras yang tidak selalu diiringi bendungan pengaman mutu.
Tahun 1999, jumlah DAMIU diperkirakan hanya sekitar 400 depot. Dua dekade kemudian, pada tahun 2021, jumlahnya melonjak menjadi ±60.000 depot (data Kemendag). Hingga kuartal pertama 2024, tercatat 78.378 DAMIU beroperasi di Indonesia.
Lonjakan lebih dari 190 kali lipat ini bukan sekadar angka; ia adalah potret kebutuhan rakyat sekaligus sinyal peringatan bagi sistem pengawasan baku mutu kesehatan lingkungan.
BATAS TIPIS LAYANAN PUBLIK Vs RESIKO KESEHATAN
Sebagian besar DAMIU beroperasi sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dikelola secara perorangan. Modal terbatas, pengetahuan teknis yang tidak selalu memadai, serta pengawasan yang belum berkesinambungan menjadikan banyak DAMIU berjalan di batas tipis antara layanan publik dan risiko kesehatan.
Secara regulatif, DAMIU diklasifikasikan sebagai: KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia), 11052 (Industri Pengolahan Air Minum) Usaha Risiko Menengah-Tinggi. Artinya, DAMIU bukan sekadar “penjual air”, melainkan industri pengolahan pangan (air minum) yang hasilnya langsung masuk ke tubuh manusia, setiap hari, tanpa jeda.
MENGKUATIRKAN
Berbagai hasil pengawasan kualitas higiene sanitasi air baku yang digunakan pada DAMIU di daerah memperlihatkan pola yang mengkuatirkan.
Banyak survei menemukan bahwa lebih dari 40% sampel air DAMIU positif mengandung Escherichia coli, bakteri indikator pencemaran tinja yang seharusnya nol (tidak boleh ada) dalam air minum.
Kontaminasi ini tidak muncul tiba-tiba. Keadaan tersebut lahir dari rangkaian kelalaian yang berulang: Air baku tidak memenuhi baku mutu, unit filtrasi dan desinfeksi tidak dirawat sesuai ketentuan, proses pencucian galon yang tidak higienis, penjamah air tanpa pelatihan higiene sanitasi, lingkungan depot yang terbuka terhadap vector dan debu partikulat.
Dalam perspektif pengelolaan higiene sanitasi pada DAMIU, air minum tercemar bukan hanya ancaman diare akut. Dapat juga berkontribusi pada: Infeksi saluran cerna berulang, beban gizi kronis, peningkatan risiko stunting, kerentanan kelompok rentan (balita, lansia). Ketika jutaan rumah tangga meminum air dari DAMIU, maka satu depot yang lalai dapat berdampak pada ratusan keluarga.
ABSENSI NEGARA
Negara sebenarnya tidak absen, Instrumen hukum telah tersedia. Permenkes No. 11 Tahun 2025 menegaskan bahwa DAMIU pada KBLI 11052 wajib memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Semua DAMIU harus memenuhi SLHS yang mensyaratkan: Inspeksi Kesehatan Lingkungan, Uji petik laboratorium (air baku dan air hasil olahan), pelatihan penjamah dan penanggung jawab, kesesuaian sistem pengolahan dengan baku mutu.
Untuk DAMIU, persyaratan SLHS berlaku untuk semua tingkatan usaha, dari yang kecil hingga yang besar, karena ini adalah kewajiban berdasarkan Permenkes No 43 tahun 2014 tentang Higiene Sanitasi DAMIU.
Namun realitas berbicara lain: Dari 78.378 DAMIU, hanya 53.261 yang dinyatakan layak HSP, Hanya 1.755 depot yang benar-benar memiliki SLHS, Angka ini menunjukkan bahwa SLHS belum dipahami sebagai sistem penjaminan mutu, melainkan sering diperlakukan sebagai dokumen administratif sekali jadi.
HAK ASASI MANUSIA
Masalah DAMIU bukan sekadar teknis. Ia adalah persoalan Hak Asasi Manusia.
UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Pasal 6 ayat (1), menegaskan: “Negara menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan air yang sehat dan aman.”
Ketika air minum isi ulang menjadi sumber utama masyarakat, maka mutu DAMIU adalah wajah kehadiran negara. Air yang tercemar bukan hanya kegagalan usaha, tetapi pengingkaran amanah konstitusi.
Razia DAMIU oleh petugas, disertai penyegelan, sanksi administratif, bahkan ancaman pidana, sering dianggap solusi cepat. Namun secara akademik dan empiris, pendekatan ini tidak cukup efektif jika berdiri sendiri.
Mengapa? ; UMKM DAMIU sering tidak paham standar teknis, Razia bersifat sesaat, bukan pembinaan berkelanjutan, Efek jera tidak selalu diikuti perbaikan sistem, hubungan negara dengan pelaku usaha menjadi antagonistik. Pendekatan represif tanpa pendampingan justru melahirkan kepatuhan semu, patuh saat diawasi, lalai saat pengawasan pergi.
SOLUSI
Solusi strategis terletak pada pendekatan preventif dan sistemik, dengan menempatkan Ahli Sanitasi Lingkungan sebagai garda depan dalam melakukan pengawasan quality control higiene sanitasi pada DAMIU.
Model ideal: Satu Tenaga Sanitasi Lingkungan mendampingi 3-5 DAMIU.
Fungsi utama: Inspeksi Kesehatan Lingkungan rutin pada higiene sanitasi DAMIU, uji kualitas air secara berkala, evaluasi unit pengolahan, pembinaan penjamah dan pengelola, monitoring keberlanjutan SLHS. Pendampingan ini bukan beban, melainkan investasi kesehatan publik
Permenkes No. 11 Tahun 2025 dan Permenperin No. 9 Tahun 2021 sesungguhnya telah saling sinergi : Permenperin memastikan standar usaha, Permenkes menjaga keselamatan kesehatan masyarakat. Yang belum optimal bukan aturannya, melainkan implementasi kolaboratifnya.
Merawat DAMIU sebagai Amanah Bersama melalui; Reposisi SLHS sebagai sistem mutu berkelanjutan, pengawasan ahli sanitasi lingkungan berbasis klaster DAMIU, integrasi pengawasan Dinkes dan Puskesmas dengan kemitraan AKKOPSI (Aliansi Kabupaten/ Kota Peduli Sanitasi) dan HAKLI (himpunan ahli Kesehatan lingkungan Indonesia).
Pembinaan UMKM DAMIU bukan sekadar Razia, Transparansi hasil uji air kepada publik, edukasi masyarakat bahwa air aman adalah hak, bukan privilese.
SIMPUL EKONOMI, KESEHATAN DAN AMANAH NEGARA
DAMIU adalah simpul tempat ekonomi rakyat, kesehatan publik, dan amanah negara bertemu. Jika dikelola dengan bijak, ia menjadi solusi. Jika diabaikan, ia berubah menjadi risiko kolektif.
Razia tanpa pembinaan adalah jalan pendek. Regulasi tanpa pendampingan adalah teks tanpa ruh. Namun ketika pemerintah, pelaku usaha, ahli sanitasi lingkungan, dan masyarakat berjalan bersama, menjaga mutu air bukan lagi beban, melainkan kesadaran bersama.
Baca Juga:
Aksi Nyata Laik Higiene Sanitasi pada SPPG; Dari Parahyangan untuk MBG Sehat dan Aman: https://sentralpolitik.com/aksi-nyata-laik-higiene-sanitasi-pada-sppg-dari-parahyangan-untuk-mbg-sehat-dan-aman/
Pada akhirnya, air yang sehat adalah cermin peradaban. Dan DAMIU yang bermutu adalah tanda bahwa negara benar-benar hadir di gelas rakyatnya. (*)
________________________________
*) Ketua Umum PP HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)/Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta//Ketua Komite Ahli PMKL (Penanganan Masalah Kesehatan Lingkungan) Kementerian Kesehatan.






