AMBON, SentralPolitik.com_ Saat ini tujuh orang Kepala Dinas di Lingkup Pemerintah Kota Ambon tengah memasuki masa purna tugas alias pensiun.
Sebagian diantaranya malah ikut pencalegan Pemilu 2024 dan sudah tercatat di Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPRD Kota Ambon.
Nah, apakah langkah ini bisa melanggar Etika Birokrasi?
—
Akademisi Universitas Pattimura, Dr. Joseph Ufie, MA menyebut kalau langkah itu bisa dinilai pragmatis, meski sebagai warga negara seorang Kadis bisa saja mencalonkan diri, menggunakan hak politiknya.
‘’Para kadis ini sepertinya menggunakan hak politiknya untuk antisipasi masuk DCS. Nah, disitu sedikit pragmatis,’’ kata Ufie kepada SentralPolitik.com, Sabtu (9/9).
Hanya saja, lanjut Ufie, itu dapat di tolerir mengingat waktu (antara DPT dan Pensiun) yang berhimpitan,
Pengumuan DCS, katanya untuk mendapatkan feedback dari publik. ‘’Dan jika komplain masuk, maka ditindaklanjuti dengan dua opsi; mundur dari ASN atau mundur dari Caleg,’’ kata dia.
Ufie kembali menyebut, seorang Caleg bila tidak masuk di DCS maka saatnya, tidak bisa masuk caleg di DPT.
CITRA ETIS APARATUR
Nah, atas dasar kondisi sulit dari segi timing maka dapat dimaklumi sikap pragmatis tertentu untuk bisa jadi Caleg DCT pasca pensiun.
‘’Prinsip utilitarisme etis digunakan di sana, bahwa tindakan yang diambil itu. Jadi Caleg DCS atas cara tertentu merugikan citra etis aparatur, namun demi tujuan kemanfaatan yang lebih besar ke depan, maka resiko etis itu diambil.’’
‘’Namun tindakan itu tidak harus dinilai sebagai pelanggaran etika birokrasi secara absolut, karena kondisi hampir purna baktinya tadi,’’ ujar dia.
Mengenai sikap politik yang diambil sejumlah Kepala Dinas, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpatti menilai mungkin kodisi itu lebih merupakan pilihan pribadi.
‘’Sedangkan masih jadi pejabat saat ini, itu soal lain, dan itu terpulang kepada pj. Walikota Ambon,’’ ujarnya.
DINAMIKA POLITIK
Terkait status para PLT Kadis yang masih saja menjabat itu, Wakil Dekan I FISIP Unpatti ini menduga walikota masih mencari, mengidentifikasi dan memastikan pengganti Pimpinan OPD.
‘’Ini tentu butuh waktu untuk menimbang dan memproses selektif sampai memutuskan pada waktu yang tepat, dengan harapan para calon pengganti kiranya bisa berkinerja baik,’’ sebut dia.
Menyoal adanya tarik-menarik pada proses pergantian, selanjutnya Ufie mengaku bahwa dinamika politik tertentu dalam proses rekrutasi itu biasa. Namun tentu tidak melampaui batas waktu.
‘’Akan jadi masalah serius dari segi hukum dan etika, jika melewati masa pensiun namun belum ada pergantian. Pada titik itu, jelas walikota melanggar aturan secara obyekyif,’’ ingat dia.
Dia kembali menyebut pergantian pejabat dalam situasi politik saat ini harus memenuhi aturan, syarat yang mamadai bagi calon pejabat, prosedur rekrutasi serta kerangka waktu.
‘’Tepat syarat, tepat prosedur, dan tepat waktu. Itu yang harus dikedepankan,’’ tandasnya lagi.
Dosen FISIP ini mencontohkan, bila seorang pejabat tidak memenuhi syarat, tapi dipaksakan oleh kuasa untuk duduki jabatan, maka jelas bermasalah, menuai polemik dan kontroversi publik.
Baca juga:
https://sentralpolitik.com/ada-tarik-menarik-pj-walikota-sekot-di-jabatan-kepala-bkd-ambon/
‘’Dan jika hal itu terjadi, kita bisa bicara soal kepentingan politik kekuasaan yang bermain,’’ demikian Ufie. (*)
Respon (1)