Absurditas Dalam Proses Pemilihan Rektor Unpatti

Opini: Patris Rahabav (Akademisi Unpatti)

PROSES pemilihan Rektor Unpatti periode 2024-2027 menjadi menarik untuk dicermati; karena Unpatti adalah perguruan tinggi terbesar di Maluku, pusat pengembangan peradaban, salah satu pilar atau benteng terakhir penegakan etika dan moral akademik.

Oleh karena itu momentum suksesi rektor tidak sekedar dimaknai sebagai sebuah proses alamiah atau proses biasa akan tetapi hendaklah dimaknai sebagai sebuah proses pengembangan peradaban, pembelajaran demokrasi yang benar dan menjadi wahana membangun citra positif Unpatti.

Kita berharap bahwa seluruh proses pemilihan rektor hendaklah diletakan di atas prinsip rasional, logis, obyektif,  demokratis, taat azas, transparan, akuntabel, penghargaan terhadap martabat manusia dan mengedepankan bonnum communae.

Harapan di atas, ternyata sulit direalisasikan oleh sebagian anggota senat Unpatti.  Poses pemilihan rektor Unpatti bila dicermati, menjadi sebuah proses panjang, berbelit-belit dan penuh dengan absurditas. Istilah absurditas asal katanya “absurd” yang berarti mustahil, tidak masuk akal, menggelikan, dan menertawakan.

Dalam Kamus Inggris-Indonesia karya Echols dan shadily (1990) absurditas atau “absurdity” berarti kemustahilan, keadaannya yang bukan-bukan. Absurditas dalam pandangan Jean Paul Sartre (2018) adalah perasaan muak yang hadir dalam diri manusia karena kurangnya kemampuan dalam memaknai eksistensinya sehingga mendatangkan sekumpulan realitas hitam yang tidak bisa membahagiakan dirinya, ketika berhadapan dengan ralitas  di sekitarnya.

Beberapa absurditas yang muncul dalam kehidupan manusia, yaitu, rasa frustasi, rasa cemas, rasa takut, rasa dirugikan, dan ingin memberontak terhadap keadaan; yang tidak bisa diterangkan secara rasional dan obyektif.

PATOLOGI BIROKRASI UNPATTI

Proses pemilihan Rektor Unpatti periode 2024-2027 telah menyita waktu, biaya, enersi dan perhatian publik. Hal yang tidak kalah menarik, yakni  tekanan psikologis dan luka batin yang diderita oleh Prof. Dr.Izaak Hendrik Wenno, S.Pd, M.Pd; salah satu calon rektor yang menurut beberapa anggota senat Unpatti tidak layak menjadi calon rektor karena  melakukan tindakan plagiasi.

Plagiasi bagi masyarakat akademik adalah sebuah tindakan tidak terpuji dan wajar  untuk diperangi. Plagiasi Wenno menjadi viral berawal dari berita yang berseliweran di berbagai media baik media mean stream maupun media social. Isu plagiasi Wenno lebih menyita perhatian publik ketika Prof. Dr. Thomas Pentury M.Si (mantan rektor Unpatti) memberikan keterangan pers.

Inti dari keterangan pers Pentury, yakni merespon surat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti bahwa ada pelanggaran etika pengutipan yang dilakukan Wenno dan beberapa teman dan kepada mereka telah dilakukan pembinaan. Tujuannya agar segera memperbaiki dan berproses mendapatkan guru besar.

Keterangan pers Pentury telah menjadi angin segar bagi beberapa anggota senat Unpatti dan beberapa kalangan untuk terus menggoreng, dan gencar melakukan black campaingn yang kemudian memunculkan berbagai spekulasi dan multi tafsir.

Hal yang patut disesali adalah Surat Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan berikut Surat klarifikasi rektor Unpatti yang seharusnya sifatnya confidensial akhirnya menjadi konsunsi publik. Di sini sangat jelas betapa bobroknya birokrasi Unpatti.

Birokrasi Unpatti tengah tersandra gejala patologi birokrasi. Patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. Maka, Birokrasi ideal, Weberian yang  impersonal, yakni birokrasi yang independen; netral,  tidak berpihak, telah terkubur dan diganti dengan birokrasi yang pragmatik; yakni birokrasi yang tidak berpihak pada kepentingan publik akan tetapi  berpihak pada kepentingan  pribadi dan kelompok tertentu.

Orang lupa kalau membocorkan hal yang sifatnya confidensial telah mencederai martabat dan membunuh karakter Wenno dan rekan-rekannya secara personal dan  sekaligus menggadai harga diri, marwah, martabat Unpatti yang berujung pada image negatif publik terhadap Unpatti.

DEMAGOGI

Hingga hari ini  tidak ada seorang anggota senat bahkan dosen Unpatti yang berani dan secara gentle menunjukkan bukti orentik bahwa Wenno benar-benar seorang plagiator. Berbagai alibi dan upaya mencari kebenaran terus dilakukan seperti meminta Prof.Dr. Pentury M.Si mantan Rektor Unpatti untuk memberi klarifikasi di media massa, meminta beberapa pihak menyurati Kemdikbudristekdikti, bahkan mendesak Ketua Senat Unpatti untuk meminta klarifikasi dari Kemendikbudristekdikti.

Anggota senat dan kelompok kepentingan yang menuduh Wenno melakukan plagiasi juga diminta menunjukkan bukti. Namun, hasilnya nihil. Maka, kasus plagiasi yang dialamatkan kepada  Wenno adalah sebuah kasus yang tidak jelas subyek dan obyeknya dan hingga kini tetap tersimpan dalam kotak pandora yang tertutup dan sulit dibuktikan.

Sebagai akademisi, sangat elok bila kita berani berbicara kalau kita mengalami, bila punya alat bukti; sudah melakukan cek and ricek, sudah melakukan klarifikasi dan verifikasi. Jika tidak;  maka senat yang menuduh Wenno melakukan plagiasi terjebak dalam sebuah insinuasi atau sebuah upaya framing. Freming bahwa Wenno melakukan plagiasi tanpa disertai bukti; tidak pantas dilakukan oleh akademisi.

Sebagai akademisi kita tidak bisa dengar si A bilang begini dan si B bilang begitu dan kemudian mengklaim  sebagai sebuah kebenaran; itu kekeliruan besar!

Sebagai akademisi, kita hendaklah tidak terjebak dengan isu dan rumor. Kalau cuma dengar-dengar, itu dongeng dan sebuah kejahatan luar biasa. Kalau politisi boleh, karena ini yang namanya kreasi politik. Pada tataran itu, kesimpulan bahwa Wenno melakukan plagiasi adalah sebuah kesimpulan yang prematur; kesimulan yang bias, kesimpulan yang  mengabaikan fakta dan realitas yang ada.

Sebagai akademisi, baik kalau kita membelajarkan publik dengan data bukan asumsi karena  asumsi adalah bunda yang melahirkan seluruh kesalahan. Kondisi seperti ini tidak elok, tidak pantas dipraktikkan oleh para akademisi yang tugasnya, mencerahkan; memberi penerangan bagi sesuatu yang tidak terang. Maka, tidak berkelebihan kalau dikatakan bahwa kasus plagiasi yang diduhkan ke Wenno  adalah sebuah tuduhan palsu.

Walaupun demikian, beberapa anggota senat dan kelompok kepentingan tidak patah arang; atas nama rasionalitas, hingga hari ini terus membangun opini dengan menggunakan terminologi yang sifatnya provokatif, kasar dan paradox dengan rasionalitas.

Teknik argumentasi yang digunakan, yakni sofisme atau lebih dikenal dengan istilah demagogi yang dipakai untuk menarik perhatian publik. Alat yang digunakan untuk menarik  perhatian publik, yakni kesesatan berpikir atau cacat logika yang dikenal dengan istilah argumentum ad hominem artinya saya tidak suka dengan seseorang dan saya berargumen dengan menyerang orang itu (pribadinya). Sasarannya adalah orangnya (Wenno) dengan target tereliminasi dari bursa calon rektor Unpatti.

Dalam konteks itu anggota senat tertentu, tengah mengadopsi pemikiran Machiavelli: prinsip tujuan menghalalkan cara. Para pencari kebenaran tersebut secara sadar telah mengingkari prinsip demokrasi yang benar karena dalam demokrasi dibutuhkan: kesataraan, kebebasan dan respek. Kesetaraan tanpa respek akan hasilkan chaos. Respek diarahkan pada fungsi publik dan person.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *