Pasca Perang Dunia ke-2 (1939-1945) pembangunan gencar secara global dilakukan, dimana semua negara berlomba-lomba melaksanakannya. Kondisi ini nampak sekali pada negara-negara dunia ketiga (miskin), dimana rata-rata target pembangunan negara-negara itui adalah menggenjot pendapatan (income) sebagai ukuran kesejahteraan. Dengan asumsi bahwa pendapatan warga negara menjadi kunci keberhasilan, negara-negara berkembang berlomba-lomba meningkatkan pendapatan rara-rata nasional. Hal ini sebagaimana tujuan pembangunan sebagaimana dirumuskan agen-agen pembangunan global, seperti Inernational Monetary Found (IMF) dan Bandk Dunia (World Bank).
—
Relevan dengan itu, Amartya Kumar Sen yang populer dengan sapaan Amartha Sen seorang ekonom India yang hits melalui karyanya “Poverty and Famine: An Essay on Entitlement and Deprivation”, yang di publis di tahun 1981 lampau, dimana ia pernah di ganjar Nobel Prize dalam bidang ekonomi di tahun 1998 lantaran dedikasinya dalam bidang ekonomi kesejahteraan.
Dalam perkembangan gagasan pemikirannya di era 1980- an, Sen mengajukan pendekatan yang memasukan “kapabilitas” untuk mengganti “pendapatan” sebagai ukuran dari pembangunan.
Dengan memasukan konsep baru tersebut, Sen memperluas pengertian pembangunan, dari sekedar urusan sempit agen-agen pemerintah dalam rangka menangani berbagai persoalan ekonomi, untuk peningkatan pendapatan rata-rata warganya secara kuantitatif, menjadi persoalan luas mencakup factor kualitatif urusan kemanusiaan yang selama ini biasanya disuarakan kubu hertodoks dalam ilmu dan kebijakan eknomi. Pada tahun 2000 lalu, pemikirannya semakin dinamis, dimana Sen turut memberi parameter baru bagi pembangunan yakni menyangkut dengan kebebasa..
Ia menyatakan bahwa kebebasan merupakan tolok ukur pembangunan dengan dua alasan : (1) alasan evaluatif, penilaian atas keberhasilan pembangunan dipahami berdasarkan sejauh mana kebebasan manusia meningkat.
Dengan peningkatan kebebasan, manusia semakin mampu untuk mengungkapkan dan berusaha memenuhi kebutuhannya dalam pembangunan, (2) alasan efektivitas, keberhasilan pembangunan sepenuhnya tergantung pada manusia yang bebas. Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia menentukan tujuan dan cara pemenuhan kebutuhannya.
Perspektif pemikirannya ini justru kontradiktif, sebab terdapat sebagian kecil negara yang pembangunannya sukses, dengan menekan kebebasan dan memperioritaskan pembangunan ekonomi, yang mengarah pada pendapatan negara dan warga negara.
Fenomena itu, dapat kita temui pada jiran Singapura dan Malaysia yang berada dikawasan Asia Tenggara, dan negara sahabat kita Cina di Asia Timur. Bahkan Vietnam salah satu jiran yang berada di kawasan Asia Tenggara, yang pertumbuhan ekonominya impresif, juga mengalami fenomena demikian, dengan mengekang kekebasan.(Indro, 2013, Abdoellah &Mulyanto 2019).
SINGAPURA
Singapura adalah potret negara yang mengugurkan argument Sen tentang kebebasan. Dibawah kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Lee Kuan Yew, ia sukses memodernisasi Singapura. Lee sukses mengawinkan kapitalisme dan pemerintahan otoriter. Setelah perpisahan dengan Malaysia di tahun 1965, Singapura bukanlah daerah kaya. Ia hanya sebuah kota pelabuhan dari era kolonial. Daerah itu bahkan masih penuh nyamuk di setiap pojoknya. Lebih gawat lagi, negara baru itu tak punya daerah penyangga penghasil produk pangan. Bahkan untuk sumber air saja, Singapura harus bergantung pada Johor, negara bagian Malaysia. “Bagaimana kami bisa hidup?” tulis Lee dalam bukunya The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew pada 1998.
Negeri itu bahkan tak punya modal awal. Dulu Singapura mendapat berkah dari tentara kolonial Inggris. Tapi setelah merdeka, dan tentara Inggris pergi, negeri itu kehilangan pemasukan besar. Belanja militer Inggris itu sangat berarti bagi Singapura. Puluhan ribu lapangan kerja lenyap. “Itu pukulan ekonomi bagi kami,” tulis Lee dalam buku From the Thirld World to First: Singapore Strory 1965-2000. Saat Tiongkok dilanda revolusi kebudayaan, Lee menemukan celah: Singapura bisa menggantikan Hongkong dalam produksi alat-alat elektronik. Ia juga menarik banyak modal asing, dan mulai mengetatkan hukum dan peraturan.
Ia menginginkan stabilitas sosial dan politik, agar modal asing yang masuk Singapura nyaman dan aman. Demi ketertiban itu, Lee keras mengatur seluruh aspek hidup masyarakat Singapura. Ia tak memberi tempat bagi oposisi. Lee menekan partai politik, mengendalikan media. Ia menciptakan berbagai macam tata tertib, sampai misalnya: melarang warganya mengunyah permen karet. Ekonomi negeri itu memang lalu melaju kencang. Dari rentang 1966 ke 2013, produk domestik bruto (PDB) riil per kapita Singapura tumbuh lima belas kali lipat, tiga kali lebih cepat dari Amerika Serikat, dan terbesar ketujuh di dunia. Kini, satu dari enam keluarga di Singapura dilaporkan memiliki tabungan sebesar US$1 juta.(https://www.cnnindonesia.com, 2015).
MALAYSIA
Malaysia pada era kepemimpinan PM Mahathir Mohamad priode pertama (1981-2003), ia sukses melaksanakan pembangunan di negara jiran itu, dimana ia mampu memberikan stabilitas politik yang dibutuhkan oleh pertumbuhan ekonomi Malaysia. Ia menyambut masuknya investasi asing, mereformasi struktur pajak, mengurangi tarif bea masuk, dan memprivatisasi sejumlah perusahaan negara. Dana yang didapatkan dari kebijakan tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Dampaknya pada 1988-1996 Malaysia mencatat rata-rata pertumbuhan ekonomi 8% per tahun. Di bawah kepemimpinannya, Malaysia berhasil mengubah basis perekonomiannya dari sektor pertanian dan sumber daya mineral ke sektor manufaktur dan ekspor.
Pendapatan per kapita Malaysia pun naik dua kali lipat pada 1990-1996. Bahkan ia sukses melewati krisis ekonomi ekonomi Asia pada tahun 1997-1999. Menghadapinya, ia menyusun serangkaian kebijakan restrukturisasi yang mirip dengan paket kebijakan IMF, hanya saja ia melakukannya tanpa IMF.
Hal ini diikuti dengan pemotongan anggaran pengeluaran secara dramatis, menunda proyek-proyek konstruktif yang dinilai “tidak strategis”, menunda impor kapital beberapa badan usaha milik negara, hingga membatalkan investasi luar negeri yang kontroversial dengan penerapan sistem kontrol devisa.
Kendati Mahathir sukses, ia mengekang kebebasan sipil. Ia mengesahkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri untuk menangkap aktivis, tokoh agama minoritas, dan lawan politik. Bahkan ia mengorbankan independensi pengadilan serta kekuasaan dan hak tradisional kerajaan Malaysia. Menurut Wah, Loh Kok dan Khoo Boo Theik dalam karyanya “Democracy in Malaysia: Discourses and Practices”, terbitan di tahun 2002 lalu bahwa, Malaysia pada era Mahatir itu, mempertahankan otoriterisme dalam rangka menjaga stabilitas politik dan integrasi nasional.
Tidak hanya itu, otoriterisme dijalankan agar lebih leluasa untuk mengambil porsi besar dan aktif dalam perekonomian dan proses industrialisasi dalam rangka memenuhi hasrat nasionalistik untuk menentaskan kemiskinan dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. (https://katadata.co.id 2020, https://id.wikipedia.org, 2020).
CINA
Kesuksesan China ini berawal diawali dengan serangkaian reformasi ekonomi di era Deng Xiaoping (1978-1989). Reformasi telah membawa perekonomian China yang dulu terisolasi menjadi lebih terbuka. Semenjak saat itu ekonomi China tumbuh 10% rata-rata per tahun. China kini menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia baru penantang hegemoni Paman Sam yang susah ditiru dan bahkan ditandingi. Reformasi ekonomi yang dijalankan sejak 1978 telah membuat China jadi negara adidaya seperti sekarang ini.
China kini menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia baru penantang hegemoni Paman Sam yang susah ditiru dan bahkan ditandingi. Reformasi ekonomi yang dijalankan sejak 1978 telah membuat China jadi negara adidaya seperti sekarang ini. Kesuksesan ini mengantarkan China menjadi kekuatan ekonomi dunia baru dan katanya susah untuk ditiru atau ditandingi. Menurut laporan Bloomberg Economics, tidak ada satu negara pun yang dapat meniru China dalam mentransformasi ekonominya.
Kesuksesan China menjadi semakin sulit ditiru oleh negara Asia lain. Ketika negara Asia lain masih berkutat dengan masalah struktural seperti infrastruktur yang tidak memadai hingga ketidakstabilan politik, China sudah melangkah jauh ke depan.China memiliki jaringan pabrik, pemasok, layanan logistik, dan infrastruktur transportasi yang rumit, yang didukung oleh uang dan teknologi dari Jepang, Taiwan, dan Hong Kong. Negara itu juga memiliki tenaga kerja yang banyak, murah, cerdas dan mendapatkan akses hampir tanpa batas ke pasar global selama tiga dekade ini.
Namun kemajuan China tersebut, tidak diikiti dengan adanya kekebasan. Hasil laporan terbaru Human Rights Watch pada 14 Januari tahun 2020 menunjukkan, pemerintah China khawatir atas keinginan rakyat untuk demokrasi dan penindasannya terhadap hak asasi manusia adalah ancaman eksistensial bagi dunia. Bahkan Pihak berwenang China juga telah memperluas serangan mereka terhadap kebebasan berekspresi, termasuk menangkap wartawan dan aktivis penuntut. Itu pun belum lagi kasus-kasus pengekangan kebebasan, yang terjadi di masa lalu.
Salah satunya kasus Protes Lapangan Tiananmen 1989, dimana merupakan sebuah rangkaian demonstrasi yang dipimpin mahasiswa diadakan di Lapangan Tiananmen di Beijing, Republik Rakyat Tiongkok, antara 15 April dan 4 Juni 1989. Protes ini ditujukan terhadap ketidakstabilan ekonomi dan korupsi politik yang kemudian merembet menjadi demonstrasi pro-demokrasi yang memang merupakan suatu yang belum lazim di Tiongkok yang otoriter. Lebih dari 3.000 orang meninggal sebagai akibat tindakan dari pasukan bersenjata. (www.cnbcindonesia.com, 2019,www. internasional.kontan.co.id, 2020).
VIETNAM
Vietnam sukses melakukan reformasi ekonomi, yang disebut Doi Moi, dimana dimulai tahun 1986 tujuannya membuat ekonomi pasar yang berorientasi sosialis tetapi tanpa pengawasan yang terlalu ketat. Berkat Doi Moi, swasta mendapat tempat dalam memajukan perekonomian nasional. Mereka diantaranya memperoleh izin mengelola lahan sebelumnya lahan dikelola secara bersama-sama. Kemudian, dilakukan pula deregulasi yang membuka kesempatan buat investasi asing. Pemerintah juga membuat 16 perjanjian perdagangan bebas dengan Korea Selatan, Uni Eropa dan lain-lain. Berikutnya, menjadi anggota ke 150 Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) pada tahun 2007.
Berdasarkan data resmi laju pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu tahun 2008 -2018 termasuk yang tercepat. Berada pada 5,03% pada 2012, mencapai 6,81% pada tahun 2017, serta 7,1% pada tahun lalu. Jadi sejak 2008, pertumbuhan ekonomi tak pernah di bawah lima persen. Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Vietnam 6,8% tahun ini dan tahun depan 6,7% .Pertumbuhan yang relatif tinggi dan cepat tersebut sejalan dengan target pemerintah, agar perekonomian mampu menyerap tenaga kerja, mengurangi angka kemiskinan atau meningkatkan pendapatan penduduk. Dampaknya sudah 2,3 juta orang terangkat dari garis kemiskinan.
Berkat Do Moi memacu Vietnam bertranformasi dari negara miskin menjadi salah satu macan ekonomi Asia Tenggara hanya dalam tiga dekade. Kendari demikian, kemajuan pembangunannya melalui Doi Moi itu, tidak berbanding lurus dengan kebebasan di negara komunis itu. Dimana pemerintah setempat telah menekan kelompok-kelompok pro-demokrasi yang sedang berkembang. Kelompok hak-hak represi mengatakan bahwa mengubah negara itu menjadi penjara raksasa. Persaudaraan untuk Demokrasi, kelompok pro demokrasi terbesar, juga terus menghadapi ancaman dengan anggota-anggota mereka yang banyak dipenjarakan.
Tahun 2018 merupakan masa yang mengerikan bagi gerakan pro-demokrasi Vietnam yang terguncang dan dilecehkan, dengan sedikitnya 50 aktivis dipenjara dan banyak dari mereka dijatuhi hukuman berat sejak Januari 2018. Perlakukan tersebut belum banyak ditemukan, tetapi lebih ditujukan untuk mengungkap hubungan antara kelompok politik dan organisasi yang semakin berkembang, yang semakin menjadi tantangan bagi legitimasi dan dominasi Partai Komunis yang berkuasa. (www.matamatapolitik.com 2018, www.ayobandung.com 2019).
***
Terlepas dari itu, Sen menyatakan bahwa kebebasan merupakan tolok ukur pembangunan, yang tidak saja termentahkan di negara-negara kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Namun juga di negara asalnya India yang berada di kawasan Asia Selatan, dengan capaian di sektor ekonomi yang kini menduduki urutan ketujuh. India di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Damodardas Modi menggenjot pembangunan infrastruktur umum hingga sarana transportasi serta mengubah beberapa regulasi yang dianggap menghambat investasi asing.
Kini ekonomi India berhasil menyalip posisi negara anggota G7 yang berada di posisi kedelapan.
Produk Domestik Bruto (PDB) India mencapai $2,08 miliar, sementara Italia sebesar $1,8 miliar. Dari sektor konsumsi, reformasi ekonomi Modi menggeser Cina sebagai pasar sepeda motor dan skuter pada tahun 2016. India dalam beberapa tahun terakhir menjadi pasar incaran para produsen dunia, mulai dari kendaraan bermotor hingga telepon pintar. Kini India menjadi pasar terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat. Sayangnya, kemajuan ekonomi India itu, juga tidak berbanding lurus dengan kebebasan. Laporan lembaga think tank Freedom House tahun 2020 cukup suram, dimana menyoroti skor demokrasi di India di antara 25 negara demokrasi terpadat di dunia, yang turun drastis.
Laporan itu memberikan titik berat pada status negara bagian Jammu dan Kashmir di bawah kepemimpinan PM Modi yang berhaluan Hindu nasionalis. India mengalami penurunan indeks kebebasan terbesar dalam sepuluh tahun terakhir. Sementara status di negara bagian Kashmir menurun dari “sebagian bebas” menjadi “tidak bebas” pada tahun ini. Laporan itu juga menyoroti undang-undang kewarganegaraan yang kontroversial diadopsi di tingkat nasional, ditambah dengan tindakan agresif oleh negara guna menekan protes massa.
Baca Juga:
Mahkamah Kontitusi dan Tabir Hukum Indonesia; https://sentralpolitik.com/mahkamah-konstitusi-dan-tabir-hukum-indonesia/
Akhirulkalam kebebasan dalam pembangunan dalam pendekatan Sen relatif bukan suatu realitas yang dilakukan negara, karena di beberapa negara kontradiktif dalam realisasinya, dimana pendapatan adalah prioritasnya.(www.tirto.id 2017, www.detik.com 2020). (*)