Pemerintahan

Balthasar, Melchior dan Caspar; Para ‘Filsuf’ Timur yang Menyembah Yesus Sang Filsuf

×

Balthasar, Melchior dan Caspar; Para ‘Filsuf’ Timur yang Menyembah Yesus Sang Filsuf

Sebarkan artikel ini

Oleh: Costantinus Fatlolon (Dosen Filsafat STPAK St. Yohanes Penginjil, Ambon/ Pastor Vikaris Paroki St. Joseph, Passo)

Costantinus Fatlolon
Dosen Filsafat STPAK St. Yohanes Penginjil, Ambon. -F:KOLEKSI PRIBADI

 Hari Minggu (6/1/2023) besok, dalam kalender liturgi Gereja Katolik merupakan perayaan “Hari Raya Penampakan Tuhan” atau “Hari Raya Epifani”.

Dalam perayaan ini, Gereja Katolik Universal memperingati dan merayakan bagaimana Allah memperkenalkan Putera-Nya, Yesus Kristus, dan rencana penyelamatan-Nya kepada seluruh umat manusia, baik Yahudi, bukan Yahudi, maupun bangsa-bangsa kafir.

Advertisement
Iklan
Scroll kebawah untuk baca berita

BERKENAAN dengan hari Raya ini, seorang teman mengatakan kepada saya dalam dialog bersama bahwa menurut ceritera orang tuanya, orang-orang Majus itu adalah orang-orang “bijaksana”.

Ia kemudian bertanya “Apakah sebutan ‘bijaksana’ yang dikenalan kepada para Majus sama artinya dengan sebutan ‘filsuf’ sekarang ini?”

Saya menjawab pertanyaan ini dengan menegaskan bahwa dalam arti tertentu, para Majus dapat disebut sebagai tiga orang “filsuf” dari Timur. Mereka adalah pencintai dan pencari Sang Kebijaksanaan, yakni Yesus sendiri.

Dialah “Sang Filsuf” yang menjadi Pokok Kebijaksanaan yang mengiluminasi akal budi manusia untuk menemukan Kebenaran Ilahi yang mendasari alam semesta.

Untuk menjawab pertanyaan itu saya pertama-tama menguraikan beberapa penemuan yang menjelaskan siapakah sebenarnya para Majus. Kemudian saya menjelaskan juga arti persembahan para Majus dengan merujuk pada pandangan St. Gregorius Agung.

Pada akhirnya, saya menjelaskan makna sebutan “bijaksana” kepada para Majus dan sebutan “filsuf” saat ini dalam konteks filsafat Yunani.

Siapakah itu Para Majus?

Narasi tentang para Majus kita kenal melalui pemberitaan singkat dalam Injil. Beberapa tradisi menyebut para Majus adalah para raja yang mewakili kerajaan mereka masing-masing. Kitab Suci, khususnya Injil Matius 2:1-12 memberikan penjelasan sangat singkat dengan menyebut mereka sebagai pengunjung dari Timur yang tiba di Yerusalem mencari seorang “Anak” yang baru lahir di Betlehem.

Dijelaskan oleh Penginjil Matius: “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes,  datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem dan bertanya-tanya: “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Mat. 2:1-2).

Menariknya, teks-teks Kitab Suci tidak menentukan apakah ada tiga orang atau lebih. Lebih dari itu, menurut Daniel Esparza dalam artikel berjudul “Who were the Magi, really?” tidak ada rincian lebih lanjut apakah mereka berasal dari kalangan Zoroaster di Persia, atau peramal asal Babilonia, atau orang bijak dari India.

Beberapa komentator awal menyatakan bahwa orang Majus sebenarnya adalah orang Persia, tetapi yang lain menegaskan bahwa mereka adalah orang Yahudi dari Yaman (https://aleteia.org/2019/01/03/who-were-the-magi-really/).

Pastor Dwight Longenecker dalam artikelnya berjudul: “Wise Men from the East: ‘Historical Facts Fit Matthew’s Account Perfectly’” menyebut para Majus adalah orang-orang bijaksana. Mereka adalah diplomat dari kerajaan tetangga yang berpusat di kota Petra (https://aleteia.org/…/the-wise-men-from-the-east-historica…/).

Sedangkan, beberapa ahli telah berusaha membuat penelitian lebih mendalam mengenai ketiga orang Majus ini.

Ahli Kitab Suci Brent Landau dari Biblical Society menemukan bahwa tidak ada jawaban memuaskan mengenai siapa orang majus itu. Para Majus lebih dikenal sebagai “mereka yang berdoa dalam keheningan.” Demikian pula, John dari Hildesheim’s Historia Trium Regum atau History of the Three Kings mengatakan bahwa Balthasar, Melchior dan Caspar berasal dari India, Persia, dan Kaldea (sekarang) Iran dan Irak.

Mengenai kunjungan para Majus, beberapa ahli menyebutkan bahwa kisah tersebut sebenarnya ditulis oleh para Majus itu sendiri dalam Bahasa Syria sejak abad ke-8.

Menurut keterangan Daniel Esparza, ketiga Majus berangkat secara terpisah, bertemu di tempat kelahiran di Yerusalem dan kemudian melakukan perjalanan bersama ke Betlehem.

Setelah menyembah Kristus, mereka kembali bersama ke India, di mana mereka membangun sebuah gereja, dan setelah visi lain yang mengungkapkan bahwa kehidupan duniawi mereka akan segera berakhir, mereka mati pada saat yang sama dan dimakamkan di gereja mereka di India.

Bahkan ada beberapa legenda yang tersimpan di Perpustakaan Vatikan berjudul “Wahyu dari Orang Majus” mengklaim bahwa setelah kembali ke tanah air mereka, para Majus mengkhotbahkan iman Kristen, dan bahwa mereka dibaptis oleh Rasul Thomas.

Philip Kosloski, dalam artikelnya “Did St. Thomas the Apostle Baptize the Three Wise Men?” menyebutkan para Majus mengubah seluruh hidup mereka setelah bertemu dengan Anak Yesus.

Satu tradisi dari abad pertengahan mengklaim bahwa setelah meninggalkan Betlehem, mereka melakukan perjalanan ke India dan membangun sebuah kapel di Bukit Vaus. Setiap tahun mereka kembali ke kapel ini dan berdoa kepada Tuhan agar mereka dibaptiskan sebelum mereka mati.

Mereka akhirnya dibaptis oleh seorang murid Yesus berkhotbah di India, namanya Santo Thomas Rasul. Apakah ini benar-benar terjadi atau tidak adalah spekulasi murni. Tetapi satu hal yang pasti ialah setelah mengunjungi Raja yang baru lahir, orang Majus berubah menjadi menjadi pengikut Yesus (https://aleteia.org/…/did-st-thomas-the-apostle-baptize-th…/).

Dua ratus tahun kemudian, John dari Hildesheim menjelaskan, St. Helena, ibu Kaisar Constantine, melakukan perjalanan ke India dan memulihkan tubuh mereka. Dia memasukkan ke dalam peti yang berdekorasi indah dan menempatkannya di Gereja Sta. Sophia di Konstantinopel. Pada akhir abad ke-6, kaisar Mauricius meminta relik tersebut untuk dipindahkan ke kota Milan Italia.

Tulang-tulang yang diduga dari Balthasar, Melchior dan Caspar tetap di Milan hingga abad ke-12.

Pada tahun 1164, Uskup agung Cologne mengangkut tulang-tulang itu ke Cologne. Tulang-tulang itu ada di sana sampai hari ini, di sebuah relik emas yang indah di katedral tersebut (https://aleteia.org/2019/01/03/who-were-the-magi-really/)

Arti Persembahan

Dalam Injil dikisahkan bahwa para Majus datang menyebah Anak Yesus dengan membawa persembahan mereka dalam bentuk emas, kemenyan dan mur. Lalu apakah arti ketiga persembahan tersebut?

Tom Hoopes dalam artikelnya berjudul “Jesus Wants the Same 3 Gifts From Us the Magi Brought: Here’s What They Are in Our Lives” menggunakan teologi Santo Gregorius Agung untuk menjelaskan makna setiap persembahan bagi kita (https://aleteia.org/…/jesus-wants-the-same-3-gifts-from-us…/).

Menurut St Gregorius Agung, EMAS merupakan lambang KEBIJAKSANAAN. “Kebijaksanaan adalah yang pertama dari karunia Roh Kudus. Kita menerimanya pada saat pembaptisan. Melalui pembaptisan kita kemampuan untuk ‘menikmati apa yang benar,’kemampuan untuk melihat dan mengasihi hal-hal yang bersifat Ilahi.

Tetapi itu hanya berhasil jika kita mengembalikannya kepada Tuhan” (https://aleteia.org/…/jesus-wants-the-same-3-gifts-from-us…/).

KEMENYAN, menurut St. Gregorius, seperti kemenyan yang digunakan dalam Misa, melambangkan doa. Ketika bertemu dengan bayi Yesus, orang-orang Majus “bersujud dan menyembah-Nya.” St. Gregorius berkata bahwa kita harus mempersembahkan kemenyan setiap hari kepada Kristus “dengan rasa manis dari doa-doa kita” (https://aleteia.org/…/jesus-wants-the-same-3-gifts-from-us…/)

MUR adalah salep penyembuhan dan salep penguburan. Karena itu, “Dalam mur dilambangkan penyiksaan dari daging,” kata St. Gregorius. “Kita menawarkan mur ketika kita mempersembahkan keinginan daging kita” (https://aleteia.org/…/jesus-wants-the-same-3-gifts-from-us…/).

Para ‘Filsuf’ dari Timur

Kembali ke pertanyaan teman dialog saya di atas: “Apakah para Majus dapat disebut sebagai ‘filsuf’ sebagaimana yang kita ketahui sekarang?

Dalam bahasa Yunani, istilah Sophia memiliki arti yang lebih mendalam daripada kata Inggris wisdom. Dalam bahasa Yunani istilah ini tidak hanya berarti masalah pemahaman akan arti kehidupan, melainkan juga mencakup segala latihan intelegensi atau keinginan untuk mengetahui sesuatu.

Dalam konteks Yunani Kuno, seorang disebut bijaksana karena ia memiliki keinginan untuk mencari tahu sesuatu. Sebagai contoh, para filsuf alam atau yang biasa disebut filsuf pra-Sokratik (Thales, Anaximenes, dan Anaximandros), adalah para ahli dalam bidang astronomi, botanika, kimia, fisika, matematika.

Jadi, sebutan ‘filsuf’ dalam arti ini tidak terbatas hanya pada orang yang belajar filsafat sebagaimana kita kenal saat ini.

Ciri khas utama sebuah kebijaksanaan ialah pengetahuan akan penyebab tertinggi dan terdalam dari realitas. Para Majus dapat disebut sebagai filsuf dalam arti luas, yaitu kaum intelektual yang tidak sekedar mencapai kepuasan akademik, melainkan yang mencapai pemahaman yang lebih benar dan bijaksana tentang diri sendiri, orang lain dan alam semesta.

Untuk menemukan Raja yang baru lahir, orang-orang Majus TERPESONA akan kejadian alamiah kemudian mulai BERTANYA dan MENCARI jawabannya, walaupun harus bersusah payah.

Orang-orang Majus tidak hanya memiliki kecerdasan untuk mengetahui tanda-tanda astronomi. Mereka juga memiliki kualitas tambahan yang ditekankan oleh himne Epiphany, yakni “keajaiban” (wonder).

Sebagai filsuf, para Majus tercengang dengan keajaiban alam semesta dan berusaha mencari dan menemukan jawab atas perubahan dalam realitas. Dalam arti ini, para majus dapat disebut sebagai filsuf, dalam arti orang-orang yang memiliki pengetahuan akan penyebab terdalam dari benda-benda atau realitas.

Benar kata Karl Jaspers: “hakikat filsafat ialah bukan memiliki kebenaran melainkan mencari kebenaran… Filsafat berarti berada pada sebuah jalan. Pertanyaan-pertanyaan filsafat lebih esensial daripada jawabannya, dan setiap jawaban menjadi sebuah pertanyaan baru” (Karl Jaspers, Way to Wisdom: An Introduction to Philosophy, trans. Ralph Manheim. Yale: Yale University Press, 1954: 12).

Ciri khas utama sebuah kebijaksanaan ialah pengetahuan akan penyebab tertinggi dan terdalam dari realitas (Joseph M. de Torres, Christian Philosophy, third edition, Manila: Sinaga-Tala Publishers, 1980: 40).

Secara filosofis dapat dikatakan, fakta bahwa para Majus membawa hadiah emas, terutama, menunjukkan bahwa mereka tahu nilai dari tanda-tanda yang mereka lihat di surga (https://aleteia.org/…/jesus-wants-the-same-3-gifts-from-us…/).

Para Majus adalah para filsuf dari Timur. Istilah filsafat timur umumnya dikenakan pada aliran pemikiran seperti filsafat China, filsafat India dan filsafat Islam. Mudji Sutrisno menyebut dua unsur hakiki yang menjadi ciri khas filsafat timur (Mudji Sutrisno, “Kata Pengantar,” dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, ed. Tim Redaksi Driyarkara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993: xii).

Pertama, religiositas. Filsafat dalam pemikiran timur lebih dipahami sebagai “pandangan hidup atau cara hidup” (way of life) yang tidak terlepas dari latar belakang hidup sosial dan budaya yang amat religius. Oleh karena itu, pemikiran timur menghubungkan filsafat dengan keselamatan manusia. Filsafat tak lain adalah jalan, cara, pandangan hidup yang harus dijalani dalam pengosongan, penguasaan dan pengendalian diri untuk mencapai kepenuhan diri sendiri.

Kedua, praktis. Tradisi pemikiran timur tidak memandang filsafat sebagai suatu upaya rasional untuk mempertanyakan secara kritis, sistematis, koheren, dan logis tentang realitas tetapi sebagai jalan untuk memecahkan persoalan-persoalan hidup. Tujuan akhir dari filsafat ini adalah keharmonisan hidup bersama.

Jadi, filsafat timur tidak berkutat pada persoalan teknis seperti rasional-tidak rasional, ada-tidak ada, dan subyek-obyek, melainkan lebih memusatkan diri pada perihal keselarasan dan kesatuan dalam realitas.

Kedua ciri khas filsafat timur ini sungguh nyata dalam diri para Majus. Pencarian Kanak Yesus dilakukan bukan pertama-tama demi tujuan memuaskan keinginan intelektual mereka semata melainkan terlebih mereka untuk memperoleh kebahagiaan abadi.

Mereka memandang hidup mereka sebagai PENCARIAN akan Sang Kebijaksanaan, Yesus Kristus. Begitu mendapatkan-Nya, mereka menjadi bahagia bahkan akhirnya memperoleh baptisan dan mati sebagai pengikut Yesus. Dalam konteks ini kita dapat melihat dua ciri khas utama.

Para filsuf Timur ini mengajarkan kepada kita bahwa Allah hadir dalam tanda-tanda alam. Mereka bahkan memenuhi pesan Yesus untuk senantiasa waspada terhadap tanda-tanda zaman. Kita harus tetap realistis dengan kehidupan saat ini, namun kita juga harus optimis akan masa depan yang cerah dengan “memandang ke langit” untuk mendapatkan kebijaksaan Ilahi.

Dengan cara itu, hidup kita akan menjadi persembahan indah bagi Tuhan dengan senantiasa bersinar dalam pandangan dan cahaya kebijaksanaan-Nya. (*)

Baca Juga:

Politik Kebohongan, Politik Kebenaran dan Demokrasi Indonesia; Perspektif Etika Politik Buddhismehttps://sentralpolitik.com/politik-kebohongan-politik-kebenaran-dan-demokrasi-indonesia-perspektif-etika-politik-buddhisme/

Baca berita menarik lainnya dari SentralPolitik.com di GOOGLE NEWS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *