Seorang penulis, Arthur Ward menyebut “Kita tidak bisa mengatur arah angin, tapi kita bisa mengendalikan layar.”
Tapi Dady Wahyudi, seorang jaksa bisa berperilaku “Kita tidak bisa menggunakan SPPD di saat Covid, tapi bisa berlayar dengan SPPD itu.’’
—
William Arthur Ward adalah seorang penulis. Ia berkebangsaan Amerika kelahiran Louisiana. Pernah sih ia menjadi tentara AS saat perang dunia kedua.
Beda jauh dengan Dady Wahyudi. Seorang Kepala Kejaksaan Negeri Saumlaki. Dady sih termasuk berani, ia berani menetapkan Petrus Fatlolon sebagai Tersangka pada 19 Juni 2024 di Kota Saumlaki.
Sayang, ia tak berani menahan PF. Kasusnya menggantung lebih dari setahun. Nanti setelah dia cabut dari Saumlaki, baru penggantinya menahan PF. Perilaku kotor sekotor air comberan pun terungkap di publik.
Penahanan PF pun bukan karena kasus SPPD fiktif, tapi kasus dana penyertaan Modal PT Tanimbar Energy.
Ini lah yang kemudian mencuat hebat, memberi cela bagi pencuri uang negara seperti Petrus Fatlolon berani bersuara.
Oiya, dibalik Dady Wahyudi, mencuat pula nama Asintel Kejaksaan Tinggi Maluku, Muji Murtopo. Ada pula nama Aspidsus Triyono Rahyudi. Nama-nama inilah yang bakal menghiasi lembaran-lembaran hukum di Kasus PF.
Nah lho, modus operandi mereka-mereka ini yang memang patut diulek-ulek di DPR RI.
Percuma perilaku begitu, ketiga Presiden memerintahkan TNI menjaga kantor mereka, sementara bau borok tercium dari seragam Jaksa.
Perilaku bobrok, sebobrok pencuri uang negara! Dan kalau saja ini yang terungkap benar, bukan tidak mungkin perilaku begitu masih banyak berkeliaran; menebar borok yang najis dan bobrok!
Kalau semua tuduhan itu benar, maka mereka itu jauh labih sadis dari sekedar perampok bersenjata. Mereka itu laknat, karena membungkus diri dengan seragam negara!
Kalau prilaku mereka benar; Anjing paling kurap di pasar Omele pun, jauh lebih berharga dari seragam mereka!
BAYANG-BAYANG KORUPSI
Di kabupaten yang hanya dihuni 131 ribu jiwa, lebih dari 23 persen penduduk hidup dalam kemiskinan.
Ironisnya, pada saat yang sama miliaran rupiah uang negara menghilang. Bukan karena bencana, bukan karena gagal program, tetapi dicuri oleh orang-orang yang diberi kepercayaan untuk mengelolanya.
Dan luka itu semakin dalam dari tahun ke tahun.
RUPIAH MENGUAP, RAKYAT IKAT PINGGANG
Bagi warga Tanimbar, korupsi bukan sekadar angka dalam laporan audit. Ia berwujud. Ada ibu yang mengkhawatirkan biaya berobat. Ada anak sekolah yang masih berjalan kaki puluhan kilometer.
Ada nelayan yang menambal perahu berkali-kali karena tak mampu membeli yang baru.
Setiap rupiah yang hilang adalah potongan dari masa depan mereka, dan potongan itu terus diambil.
JEJAK KASUS YANG TAK PERNAH SELESAI
Sejak 2017, dalam era pemerintahan satu periode bupati dan wakil bupati 2017 – 2025, Petrus Fatlolon – Agustinus Utuwaly, satu demi satu kasus terungkap.
Seolah Tanimbar sedang membacakan daftar panjang tentang bagaimana anggaran publik berubah menjadi pesta segelintir orang.
Sebut saja kasus korupsi PDAM Saumlaki 2018 dan Taman Kota. Total ada sebanyak tujuh orang jatuh sebagai terpidana atas penyimpangan modal dan kas PDAM sebesar Rp3 miliar, dan korupsi dana proyek pembuatan taman kota dan pelataran parkir pada Dinas PUPR tahun 2017 senilai 4,5 miliar.
Di desa-desa, warga masih mengangkut air dengan jerigen. Namun anggaran yang seharusnya memperbaiki keran-keran yang kering justru mengalir ke rekening pribadi.
Taman kota yang seharusnya menjadi ruang bagi anak-anak berlarian di bawah pohon rindang, berubah menjadi monumen sunyi dari janji-janji yang dikhianati.
Pelataran parkir yang seharusnya ramai oleh kehidupan warga, justru menjadi saksi bisu bagaimana Rp4,5 miliar uang rakyat lenyap.
Dan kini, empat orang yang memainkan peran dalam hilangnya harapan itu akhirnya merasakan jeruji besi. Namun luka yang ditinggalkan pada masyarakat jauh lebih dalam dari sekadar proyek yang tak jadi.
Muncul lagi kasus SPPD fiktif, tradisi gelap yang berulang. Di awali dari Bagian Umum Setda KKT hingga BPKAD, dan kasus aplikasi SIM D hingga terulang kembali SPPD fiktif pada sekretariat daerah, menjadi fenomena memalukan yang menguras napas rakyat.
Kerugian negara dari ratusan rupiah hingga milyaran uang negara diambil. Semua hilang. Tanpa perjalanan, tanpa kerja, tanpa manfaat untuk rakyat.
Sementara itu, perjalanan dinas para guru, tenaga kesehatan, penyuluh pertanian? Kerap ditunda karena anggaran belum cair.
Pecah lagi kasus korupsi dari BUMD PT. Tanimbar Energi. Luka BUMD yang membuka banyak pertanyaan. BUMD yang seharusnya menjadi kebanggaan daerah justru menjadi simbol keterpurukan.
Dua orang ditetapkan sebagai tersangka dengan kerugian Rp6,2 miliar. Selanjutnya muncul tersangka tambahan, termasuk mantan bupati masa jabatan 2017–2022. BUMD yang harusnya menerangi Tanimbar justru menjadi sumur gelap tempat uang rakyat tenggelam.
Publik kembali digemparkan dengan terungkapnya Korupsi dana hibah gedung Gereja Meyano Bab. Saat dana keagamaan pun tidak aman.
Dana hibah gereja dari APBD sebesar Rp3,1 miliar juga tak luput dari penyimpangan.
Dua tersangka kini sedang diproses. Warga Desa Meyano Bab yang berharap rumah ibadahnya berdiri kokoh sebagai pusat moral, justru menerima kenyataan pahit, bahkan dana sakral pun bisa diselewengkan.
Di banyak altar, mimbar, doa memohon keadilan kini lebih sering terdengar daripada doa ucapan syukur.
BERLAYAR DENGAN SPPD Fiktif
RAPAT dengar pendapat Panja Reformasi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Komisi III DPR RI mendadak berubah tegang.
Publik tercengang ketika istri eks Bupati Kepulauan Tanimbar, Joice Martina Pentury, yang juga Ketua Komisi III DPRD KKT, membeberkan rangkaian tuduhan serius tentang pemerasan, politisasi penegakan hukum, kriminalisasi, hingga permintaan abolisi kepada Presiden.
Perempuan yang suaminya baru saja ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi penyertaan modal pada BUMD PT Tanimbar Energi itu datang membawa setumpuk dokumen, screenshot percakapan WhatsApp, video, hingga rekaman CCTV hotel.
Semua diserahkan sebagai bukti dugaan intervensi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum dalam struktur kejaksaan. Klaim yang langsung menyentak perhatian legislator Senayan.
RUANG RDP MEMBEKU
Di depan Panja Reformasi, Joice menuturkan bahwa masalah bermula saat suaminya ditetapkan tersangka dugaan SPPD fiktif Setda KKT tahun 2024, kasus yang hingga kini tak bergerak.
Artinya 1 tahun 6 bulan, status tersangka PF dalam kasus SPPD Setda ini mandek. Padahal, PF telah karang tarung di Pra Peradilan kala itu.
Menurut Joice, rangkaian pertemuan antara suaminya Petrus Fatlolon dan sejumlah pejabat kejaksaan menjadi awal dari apa yang disebutnya sebagai dugaan kriminalisasi politik menjelang Pilkada 2024.
23 OKTOBER 2023 “Kau mau maju lagi?
Di hadapan anggota Komisi III, Joice mengungkap bahwa PF dijemput Kajari KKT Dady Wahyudi, ketika itu, lalu diajak berbicara di mobil di halaman Kejati Maluku.
“Kajari tanya apakah suami saya akan maju kembali sebagai bupati. Suami saya menjawab, iya, siap bertarung,” ujar Joice.
Rangkaian pertemuan yang menyeret nama para pejabat Kejaksaan Tinggi Maluku dan Kejaksaan Negeri KKT mulai dibuka.
Mulai dari As Intel Kejati Muji Murtopo, As Pidsus Kejati Triyono Rahyudi, Kajari Dady Wahyudi, hingga dua jaksa penyidik Kejari, Bambang Irawan dan Ricky Santoso tak luput dari pengaduan Joice.
JATAH 10 MILYAR RUPIAH
Fakta lain yang diungkap, terjadi permintaan uang senilai Rp 10 milyar dari oknum jaksa ini agar PF bisa bebas alias tak jadi target hukum.
Sayangnya, PF hanya bisa sanggupi Rp200 juta saja. Deal untuk amankan perkara dugaan korupsi PF pun gagal.
Puncak magma terjadi di kamar 605 hotel kamari Ambon, yang akhirnya bocor dan menjadi salah satu materi yang diungkapkan tim kuasa hukum PF saat melayangkan perlawanan hukum (pra peradilan) atas status tersangka di kasus SPPD mass itu.
Alhasil, PF gagal maju bertarung saat Pilkada serentak 2024 lalu, padahal telah mengantongi mengantongi sejumlah rekomendasi partai politik.
PERMINTAAN MENGEJUTKAN
Di akhir rapat, Joice memohon Komisi III memberikan rekomendasi kepada Presiden Prabowo Subianto agar memberikan abolisi kepada suaminya.
Permintaan ini sontak memicu diskusi hangat, mengingat abolisi merupakan kewenangan presiden namun secara praktik sangat jarang diberikan, apalagi untuk perkara tindak pidana korupsi.
Meskipun tak merespon permintaan abolisi, panja reformasi tetap akan mendalami aduan ini. Apalagi menurut salah satu anggota Komisi III DPR RI Endang Agustina, menyebutkan ada dua motif yakni pemersaran dan juga politik.
Panja Reformasi diminta mengkaji tuntas, termasuk menelusuri dugaan keterlibatan pihak luar institusi kejaksaan. Komisi akan mengagendakan untuk mendengar penjelasan dari institusi kejaksaan, termasuk oknum-oknum jaksa yang di disebutkan terafiliasi langsung dengan PF.
CENGKRAMAN OLIGARKI
MENCUATNYA fakta-fakta miring dalam penetapan eks bupati Kepulauan Tanimbar Petrus Fatlolon di panja reformasi kepolisian kejaksaan dan pengadilan di Komisi III DPR RI, kian membuka tabir gelombang kecurigaan publik akan adanya keterlibatan pihak ketiga diluar institusi kejaksaan.
Hal ini diungkapkan Anggota Panja Reformasi Komisi III DPR RI Endang Agustina, bahwa selain ada motif pemerasan dalam kasus penetapan tersangka PF, tetapi juga ada motif politik.
Dimana ada kekuatan besar yang lebih kuat daripada hukum, lebih berkuasa dari demokrasi, dan lebih tajam dari aturan negara yaitu oligarki lokal yang mengakar puluhan tahun.
Dalam berbagai evaluasi politik dan penegakan hukum di Tanimbar, terlihat pola yang berulang. Dimana kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh integritas, tetapi oleh uang bukan oleh rakyat, tetapi oleh segelintir pemilik modal yang memegang kendali anggaran, proyek, dan akses kekuasaan.
AKSI DEMO, LAPORAN POLISI HINGGA OPERASI POLITIK
Sumber-sumber internal di Tanimbar yang meminta namanya dilindungi, menegaskan bahwa setiap gejolak politik di Tanimbar nyaris selalu memiliki sponsor.
Mulai dari aksi demonstrasi yang terorganisir rapi, mobilisasi massa. Bahkan ada yang didanai tiket pesawat dan akomodasi ke luar Tanimbar dari ibu kota provinsi hingga ibu kota negara.
Adanya fasilitasi laporan-laporan dugaan korupsi ke berbagai penegak hukum, semua diduga bermuara pada lingkaran modal yang sama.
Di balik layar, ada figur-figur yang posisinya berada di simpang tiga antara dunia usaha, birokrasi, dan politik.
Ada juga oknum-oknum yang berkedok memperjuangkan korupsi, namun bertopeng sebagai perpanjangan tangan yang mengatur operasional dengan ritme politik di lapangan.
KETIKA OLIGARKI MENENTUKAN PEMENANG
Pada proses pemilu legislatif dan pilkada, yang baru saja berlalu di Tanimbar. Pola itu terlihat sangat telanjang. Publik melihat arus uang mengalir deras, suara rakyat “diborong” seperti komoditas pasar.
Penyelenggara pemilu (KPU/Bawaslu) menghuni pusaran tekanan yang luar biasa, dan dugaan praktik politik uang yang tertangkap tangan namun mati seketika dalam peti dingin hukum.
DEMOKRASI DI TANIMBAR TIDAK MATI, IA DIBUNUH
Bagian paling gelap adalah dugaan intervensi terhadap penegakan hukum. Beberapa pengamat lokal menilai, pola yang muncul adalahkasus tertentu dipercepat, kasus lain diperlambat, ada yang diseret, ada yang diselamatkan.
Semua mengikuti arah kekuatan dominan yang sedang mendanai kontestasi politik.
Dalam narasi publik, muncul anggapan bahwa penetapan tersangka terhadap figur tertentu menjelang kontestasi politik bukan sekadar penegakan hukum, melainkan strategi membunuh peluang elektoral seorang tokoh agar tidak dapat mencalonkan diri lagi.
Apakah itu benar? Belum tentu.
Namun aroma intervensinya sangat menyengat dan tidak bisa diabaikan.
PASCA BERKUASA, PROYEK MENGALIR, RAKYAT MENONTON
Ketika kandidat yang didukung jaringan modal itu akhirnya duduk di kursi kekuasaan, publik melihat perputaran proyek dalam lingkaran perusahaan yang sama, konsolidasi bisnis yang terpusat, dan penguasaan akses ekonomi yang semakin ketat.
Istilah yang paling sering muncul dalam percakapan publik di warung-warung kopi,
“Rakusan tidak mengenal akhir. Setelah merebut kekuasaan, mereka merampok hak rakyat”.
TANGKAP OLIGARKI, PUTUS GURITA KEKUASAAN
Gelombang suara masyarakat kini mulai berubah menjadi gerakan moral. Bukan lagi soal satu kasus atau satu pejabat. Bukan lagi soal satu tersangka atau satu laporan.
Yang disorot kini jauh lebih besar yakni struktur kekuasaan yang memungkinkan uang membeli hukum dan demokrasi.
Alhasil, rakyat Bumi Duan Lolat pun menyerukan tentang bongkar jejaring ya, bukan hanya aktornya. Tangkap otak besarnya.
Baca Juga:
Dilaporkan 23 kali Bertemu Petrus Fatlolon, Dady Wahyudi Kini Tinggalkan Tanimbar: https://sentralpolitik.com/dilaporkan-23-kali-bertemu-petrus-fatlalon-dadi-wahyudi-kini-tinggalkan-tanimbar/
Karena bagi warga Tanimbar, ini bukan lagi soal politik. Ini soal harga diri sebuah daerah yang dirampas perlahan tanpa perlawanan. (*)






