Hatane Minta Majelis Hakim Telusuri, Soal Korupsi SPPD Fiktif

AMBON, SentralPolitik.com _  Sidang lanjutan kasus korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) kembali digelar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Ambon, Kamis (19/10/2023).

Agenda sidang kali ini adalah mendengar keberatan atau eksepsi Penasehat Hukum (PH) para terdakwa terhadap surat dakwaan JPU.

Adapun enam terdakwa adalah Jonas Batlayeri (Kepala BPKAD), Kristina Sermatang (bendahara pengeluaran), Maria Goretty Batlayeri (Sekretaris BPKAD), Klementina Y Oratmangun (Kabid Perbendaharaan dan Kas Daerah), Letarius Erwin Layan (Kabid Aset) dan Liberata Malirmasele (Kabid Akuntansi dan Pelaporan).

JPU dalam dakwaan menjelaskan perbuatan para terdakwa yang dilakukan bersama-sama, mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sejumlah Rp. 6.682.072.402,-

EKSEPSI

Eksepsi yang dibacakan PH hanya untuk lima terdakwa. Karena untuk terdakwa Jonas Batlayeri hingga sidang ini, belum juga mau menggunakan Penasehat Hukum.

Di hadapan majelis hakim dengan hakim ketua Harris Tewa, tim PH terdakwa yang dipimpin Anthoni Hatane membacakan keberatan atau eksepsi atas dakwaan JPU.

Diawal eksepsi, Hatane ungkapkan bahwa keberatan ini selain sebagai tanggapan atau sanggahan atas surat dakwaan JPU, juga sebagai ruang untuk memberikan referensi awal bagi majelis hakim untuk pada gilirannya dapat menelusuri secara tuntas dan komprehensif.

“Selain sebagai tanggapan atau sanggahan atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, juga sebagai ruang untuk memberikan referensi awal bagi majelis hakim untuk pada gilirannya dapat menelusuri secara tuntas dan komprehensif, demi terwujudnya keadilan sebagaimana semboyan yang selalu kita junjung bersama selaku penegak hukum yakni Fiat Justitia Ruat Caelum,” ujar Hatane.

Dalam eksepsi tersebut, tim PH juga menilai bahwa surat dakwaan JPU kabur (obscuur libel karena tidak bersandar pada fakta formil dan materil sesuai ketentuan pasal 143 ayat (2) KUHAP.

“Sesuai ketentuan pasal 143 ayat (2) KUHAP, ditafsirkan bahwa surat dakwaan haruslah memenuhi syarat formal dan materil,” jelasnya.

Ia uraikan, untuk memenuhi syarat formil maka dakwaan harus menyebut identitas lengkap terdakwa/tersangka. Surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh JPU.

Sementara untuk syarat materil, surat dakwaan harus memuat dakwaan yang menyebutkan waktu dan tempat delik dilakukan. Serta surat dakwaan harus memuat dakwaan yang disusun secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan.

Menurut PH, dakwaan JPU tidak memenuhi ketentuan dua syarat tersebut yaitu formil maupun materil, sehingga berakibat surat dakwaan batal demi hukum (vide pasal 143 ayat 3 KUHAP).

RAGUKAN KERUGIAN

PH juga meragukan nilai kerugian negara yang didakwakan JPU sebesar Rp. 6.662.072.402,-. Pasalnya, PH menilai Inspektorat KKT tidak menggunakan metode audit investigasi untuk menghitung kerugian keuangan negara.

Akan tetapi menggunakan Audit Agreed Upon Procedures (AUP) yaitu prosedur yang disepakati antara Inspektorat Daerah KKT dengan penyidik Tipikor pada Kejari KKT sehingga terdapat kerugian negara berjumlah Rp. 6.662.072.402,-.

Padahal ada sejumlah fakta yang seharusnya menjadi perhatian penyidik untuk pengurangan nilai kerugian negara.

Menurut PH, JPU tidak mengurangkan kerugian keuangan negara pada Bidang Anggaran BPKAD KKT tahun 2020 sebesar Rp. 1.816.576.600,- atas nama terdakwa Fransisco P Bwariat yang telah meninggal saat perkara masih dalam tingkat penyelidikan.

“Menurut ketentuan pasal 77 KUHP secara tegas berbunyi bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia,” tegas Hatane.

CACAT FORMIL

Karena itu, dia ungkapkan JPU wajib keluarkan nilai tersebut dari perhitungan kerugian negara. Tetapi karena JPU tidak mengeluarkan nilai uang tersebut, maka dakwaan JPU adalah cacat formil dan materiil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *