OPINI

Ketika Alam Bicara dalam Bahasa Luka di Bumi Pusako (Upaya Menata Kembali Alam & Kebijakan)

×

Ketika Alam Bicara dalam Bahasa Luka di Bumi Pusako (Upaya Menata Kembali Alam & Kebijakan)

Sebarkan artikel ini

Oleh : Arif Sumantri*)

Arif Sumantri
Ketua Umum PP HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)/Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta//Ketua Komite Ahli PMKL (Penanganan Masalah Kesehatan lingkungan) Kementerian Kesehatan.f:IST-

Di ujung barat Nusantara, Sumatera terbentang sebagai permadani ciptaan Tuhan, gunung yang tegak berdzikir dalam kesunyian, sungai yang mengalir seperti doa yang tak putus, serta hutan-hutannya menjadi rumah bagi kehidupan yang tak terhitung.

NAMUN beberapa tahun terakhir, kisah indah itu terbelah oleh deretan banjir dan longsor yang menyayat, meninggalkan luka mendalam baik pada alam maupun manusia.

Di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, bencana hidrometeorologi datang silih berganti: banjir bandang, longsor, banjir lumpur, sungai meluap, hingga kampung-kampung hilang tersapu dalam hitungan menit.

Bencana itu bukan hanya menghancurkan jembatan dan rumah, tetapi juga meruntuhkan tatanan kehidupan.

Dan ketika air surut, tersisa ancaman lain yang senyap: kontaminasi air, rusaknya sanitasi, bahaya limbah, berkembangnya vektor, serta meningkatnya penyakit berbasis lingkungan ; diare, leptospirosis, TBC, ISPA, gizi buruk, dan risiko stunting pada anak-anak.

Musibah ini tidak sekadar peristiwa alam. Ia adalah refleksi kebijakan, potret buruk tata kelola lingkungan, sekaligus panggilan bagi bangsa untuk kembali bersujud menata peradaban ekologisnya.

Ratap bumi yang meminta kita berhenti sejenak, mendengar, lalu menata kembali relasi manusia dengan alam, kondisi ini bukan sekadar ujian alam, tetapi ujian terhadap seberapa serius kita memegang amanah pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana amanat konstitusi : “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945).

BENCANA HIDROMETEOROLOGI

Dalam setahun terakhir, Sumatera Barat dilanda serangkaian bencana hidrometeorologi: Lebih dari 800 titik longsor tercatat dalam periode 2023–2024. Pada bencana banjir bandang Gunung Marapi, tercatat puluhan korban jiwa, ratusan rumah rusak, serta akses jalan terputus di berbagai kabupaten.

Selain curah hujan ekstrem, faktor kritis berasal dari penurunan tutupan hutan, terjadinya alih fungsi lahan, dan aktivitas pertambangan yang menggerus stabilitas lereng. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari dan Batang Anai mempercepat laju erosi dan memperbesar debit limpasan saat musim hujan.

Sumatera Utara mengalami peningkatan kejadian banjir dan longsor hampir setiap tahun: BNPB mencatat lebih dari 120 kejadian banjir dan longsor pada  tahun 2024.

Di beberapa wilayah, termasuk Dairi, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli, hujan ekstrem memperparah kondisi lereng yang telah rentan akibat aktivitas pertambangan dan pembukaan hutan. Kerusakan infrastruktur mencapai ratusan miliar rupiah, sementara ribuan keluarga harus mengungsi dalam kondisi sanitasi lingkungan yang buruk.

Aceh mengalami kejadian yang paling prihatin : Empat kampung hilang (Sawang, Jambu Aye, Bireuen, Peusangan) Aceh Utara tersapu banjir bandang dan longsor. Puluhan korban meninggal dan hilang, sementara sebagian lainnya kehilangan seluruh harta benda.

Faktor pemicu meliputi curah hujan ekstrim, kerusakan hutan di wilayah hulu, sedimentasi sungai, serta pengelolaan kawasan tambang dan perkebunan yang belum sepenuhnya sesuai kaidah konservasi.

Musibah  ini menandai bahwa geologi yang aktif, curah hujan tinggi, serta bentang alam curam bukan satu-satunya penyebab. Ada andil manusia yang tak bisa dinafikan. Kehancuran yang dibawa air dan lumpur adalah duka; namun dalam duka itu terbit peringatan bagi kita semua. Kalau kita terus mengabaikan hakikat bahwa alam adalah rumah bersama, maka derita akan terus berulang.

Hutan yang seharusnya menjadi “penyangga air” telah menyusut dalam beberapa dekade. Kawasan tangkapan air rusak, resapan menurun, tanah kehilangan kekuatannya. Sungai pun menjadi pemurung yang tak lagi dapat menampung murka hujan. Pengelolaan hutan, air, dan pertambangan masih berjalan dalam sekat sektoral: Perizinan tambang sering tidak selaras dengan prinsip konservasi, Pengawasan DAS tidak sinkron antar instansi, Penegakan hukum lingkungan belum memberi efek jera.

RTRW

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seringkali tidak diikuti disiplin pembangunan. Hotel, kebun, dan permukiman menjelma di daerah rawan bencana, seolah melupakan hakikat alam yang harus dihormati. Sehingga setiap banjir dan longsor meninggalkan jejak bahaya Kesehatan : Air bersih tercemar lumpur, tinja, limbah rumah tangga, dan logam berat.

Makanan mudah terkontaminasi, terutama di lokasi pengungsian. Vektor berkembang cepat, termasuk nyamuk, lalat, dan tikus. Risiko penyakit diare, leptospirosis, TBC, ISPA, stunting, serta gangguan kulit meningkat akibat minimnya layanan sanitasi dan fasilitas kesehatan. Sistem air minum darurat sering tak memenuhi syarat higiene dan sanitasi lingkungan. Musibah ini tidak lagi sekadar bencana alam melekat menjadi bencana kesehatan dan sanitasi lingkungan.

Konstitusi telah memberi amanah mulia: bahwa tanah, air, dan seluruh kekayaan di dalamnya harus dijaga negara demi kesejahteraan rakyat. Namun dalam praktik pengelolaan lingkungan, terjadi jurang besar antara regulasi dan implementasi. Regulasi konservasi ada, namun pengawasan rapuh. Aturan kehutanan kokoh, namun penegakannya lemah. Program rehabilitasi berjalan, tetapi tidak berkelanjutan. Partisipasi masyarakat sering diundang hanya pada acara seremonial, bukan dalam pengambilan kebijakan strategis.

Padahal, masyarakat adat di Sumatera telah mewariskan falsafah lingkungan yang luhur, bahwa alam adalah ibu, dan manusia adalah anak yang harus menjaga kasihnya.

Dalam filosofi HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan lingkungan Indonesia) yang kini mengakar luas: “Kita sehatkan lingkungan, lingkungan sehatkan kita.” Makna sehat mencakup sehat pada aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan spiritual.

TAK DAMPAK TAPI BERDAMPAK

Musibah berulang seharusnya menjadi cermin jernih bahwa alam tidak sedang murka. Alam sedang memberikan hikmah dan muhasabah (evaluasi)

Ketika banjir dan longsor datang, gelombang kedua bencana kesehatan menyusul diam-diam. Ancaman kesehatan dan sanitasi lingkungan, bencana yang tidak selalu tampak tetapi akan berdampak.

Kontaminasi Air dan Makanan: Sumber air bersih tercemar lumpur, bakteri E. coli, tinja, limbah rumah tangga, bahkan logam berat dari aktivitas hulu. Air yang digunakan warga tidak memenuhi standar Permenkes No 2 tahun 2023 tentang standar baku mutu Kesehatan lingkungan. Makanan darurat sering tidak memenuhi standar Laik Higiene Sanitasi (LHS). Risiko keracunan makanan meningkat di tempat-tempat pengungsian.

Limbah dan Sampah Pasca-Bencana : Sampah rumah tangga dan puing tercampur menjadi satu. Tanpa pengelolaan yang baik, terjadi pencemaran tanah dan air yang memicu penyakit. Peningkatan Populasi Vektor :  Nyamuk Aedes dan Culex berkembang lebih cepat di genangan air. Tikus bermigrasi dari habitat aslinya akibat longsor, membawa risiko leptospirosis. Lalat meningkat akibat kerusakan fasilitas pengelolaan sampah.

Penyakit Berbasis Lingkungan : Diare akut sering menjadi kasus tertinggi pada pengungsi. ISPA dan TBC meningkat akibat kualitas udara buruk dan ruang pengungsian yang padat. Stunting mengancam, karena anak-anak kehilangan asupan gizi berkualitas.

Bencana yang berulang bukanlah takdir semata; ia adalah konsekuensi dari pilihan kebijakan. Maka solusi harus hadir dengan kesadaran penuh, tidak hanya teknis tetapi juga moral dan spiritual.

LANGKAH STATEGIS

Langkah strategis yang patut menjadi perhatian bagi pemerintah pusat dan daerah, juga masyarakat serta lintas sektor :

  1. Penguatan Tata Kelola Hutan dan Moratorium Tambang di Kawasan Rawan : Moratorium tambang pada lereng curam dan kawasan lindung. Restorasi hutan adat dan hutan lindung menggunakan pendekatan masyarakat. Penanaman kembali berbasiskan jenis lokal (endemik Bukit Barisan).
  2. Penataan Ulang DAS Berbasis Risiko Bencana : Normalisasi sungai secara ekologis, bukan sekadar betonisasi. Pengembalian sempadan sungai sebagai ruang hijau rakyat. Sistem monitoring berbasis satelit dan sensor curah hujan real-time.
  3. Penegakan Hukum yang Tegas dan Transparan Penutupan tambang ilegal tanpa kompromi. Audit lingkungan untuk seluruh perusahaan di daerah rawan longsor. Sanksi pidana dan administratif yang menimbulkan efek jera.
  4. Pendidikan Ekologi dan Pemberdayaan Masyarakat Adat : Mendorong partisipasi masyarakat dalam patroli hutan. Insentif ekonomi bagi desa pelestari lingkungan. Pendidikan sekolah yang memasukkan modul “Etika Alam Nusantara”.
  5. Harmonisasi Kebijakan Pusat–Daerah : Pembentukan tim dalam mitigasi bencana berbais komunitas dan risiko perubahan iklim. Integrasi data kebencanaan, tata ruang, dan izin industri dalam satu platform nasional. Perencanaan pembangunan daerah wajib berbasis risiko bencana.

Selama kebijakan berjalan berlawanan dengan prinsip ekologi, selama hutan dipaksa berlutut pada ambisi jangka pendek, selama sungai dimanfaatkan tanpa dipelihara, maka banjir dan longsor akan tetap menjadi tamu yang tak pernah benar-benar pergi.

Tetapi bila kita memperbaiki cara mengelola alam, memanusiakan masyarakat adat, mengembalikan hutan sebagai ibu, dan menjadikan sungai sebagai sahabat, maka Sumatera akan kembali menjadi tanah yang subur dan aman.

Jika kita tidak menata ulang relasi kita dengan alam, dengan regulasi, kebijakan, dan kerendahan hati maka banjir, longsor, dan derita akan terus menjadi tabir gelap yang menutup pelangi harapan.

Baca Juga:

Bali yang Terendam ke Hati yang Tergetar; Refleksi Ekologis dan Sanitasi yang Terabaikan: https://sentralpolitik.com/bali-yang-terendam-ke-hati-yang-tergetar-refleksi-ekologis-dan-sanitasi-yang-terabaikan/

Bencana ini adalah peringatan, namun juga peluang untuk memperbaiki diri sebagai bangsa. Agar suatu hari nanti, anak-anak di lembah Minang, perbukitan Karo, dan pesisir Aceh tidak lagi tumbuh dengan ketakutan pada hujan; melainkan harapan bahwa alam telah kembali menjadi sahabat, bukan ancaman. (*)

Penulis adalah: Ketua Umum PP HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)/Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta//Ketua Komite Ahli PMKL (Penanganan Masalah Kesehatan lingkungan) Kementerian Kesehatan.

Baca berita menarik lainnya dari SentralPolitik.com di Channel Telegram