OPINI

“Menghidupkan Nurani, Merajut  Persatuan: Sinergi AKKOPSI dan HAKLI dalam Merah Putih yang Hijau”

×

“Menghidupkan Nurani, Merajut  Persatuan: Sinergi AKKOPSI dan HAKLI dalam Merah Putih yang Hijau”

Sebarkan artikel ini

Oleh : Arif Sumantri*)

City Sanitation Summit di Ternate pada tanggal 29 – 30 Agustus 2025 di Ternate, Maluku Utara. f:IST-

Momentum City Sanitation Summit di Ternate pada tanggal 29 – 30 Agustus 2025, telah membangunkan kesadaran kolektif bahwa sanitasi berkelanjutan tidak bisa ditunda.

Para kepala daerah Bupati dan Walikota, dengan komitmen yang mereka sampaikan, telah menyalakan lilin harapan.

Kini, tantangannya adalah menjaga agar lilin itu tidak padam, melainkan bertumbuh menjadi cahaya terang yang menyinari seluruh kabupaten dan kota di Indonesia.

Sinergi AKKOPSI (aliansi kabupaten kota peduli sanitasi) dan HAKLI (himpunan ahli Kesehatan lingkungan Indonesia) bagaikan dua pilar yang menopang rumah besar bernama sanitasi nasional.

Di sisi lain, koperasi desa/ kelurahan Merah Putih dan SPPG hadir sebagai penguat dari hulu membawa semangat rakyat agar pembangunan berkelanjutan tidak kehilangan marwahnya.

Ketika sampah dikelola dengan bijak, ketika partisipasi masyarakat tumbuh subur, dan ketika ilmu pengetahuan menyatu dengan kebijakan, maka kita sedang menulis babak baru dalam pembangunan Indonesia. Babak yang sejalan dengan visi Presiden RI Prabowo Subianto: membangun bangsa yang sehat, berdaulat pangan, dan bermartabat di hadapan dunia.

Lebih jauh, sinergi ini menjadi pondasi untuk menjawab isu-isu mendesak: sanitasi aman, keamanan pangan, serta pemenuhan gizi masyarakat. Tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai mata rantai kesehatan bangsa, karena sanitasi yang buruk akan menjalar pada kualitas pangan, ketahanan gizi, bahkan produktivitas generasi muda.

Sering kali pertanyaan besar selalu muncul, siapa yang menjaga agar komitmen  ini benar-benar hidup di tengah masyarakat ? Jawabannya adalah partisipasi semua pihak. Rakyat harus menjadi subjek, bukan sekadar objek pembangunan.

Melalui koperasi desa/kelurahan Merah Putih dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), kita menemukan pola nyata bagaimana rakyat terlibat langsung dalam mengelola sampah, mendaur ulang, dan menjadikannya sumber daya baru dalam ekonomi resirkular.

Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga. Maka Pasca City Sanitation Summit (CSS) di Ternate, komitmen kepala daerah berfokus pada target nasional: mengurangi timbulan sampah sebesar 30% dan menangani sampah sebesar 70% pada tahun 2025.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, timbulan sampah Indonesia mencapai sekitar 68 juta ton per tahun (2023). Dari jumlah itu, lebih dari 37% masih berakhir di TPA tanpa pengolahan, hal ini tentu menambah beban lingkungan. Fakta ini menegaskan bahwa komitmen para Bupati/Walikota di Ternate bukanlah ceremonial nasional, melainkan respons atas kebutuhan mendesak pada penanganan sanitasi pengelolaan sampah.

Timbulan sampah nasional yang mencapai 68 juta ton per tahun, Indonesia tidak punya pilihan lain selain bergerak ke arah pengelolaan sampah terpadu berbasis ekonomi resirkular.

Data membuktikan, jika dikelola dengan benar, sampah justru bisa menjadi sumber energi, pangan, dan kesejahteraan. Masalah sampah adalah cermin ketidakadilan lingkungan. Wilayah miskin sering menjadi “tempat buangan” sampah kota besar.

Riset World Bank 2021 menunjukkan bahwa 40% sampah plastik di Asia Tenggara berakhir di perairan terbuka, dan Indonesia menjadi penyumbang terbesar kedua setelah Tiongkok.

Di sisi lain, data Bappenas mencatat bahwa biaya kesehatan akibat pencemaran lingkungan mencapai 1,2% dari PDB setiap tahun, terutama dari penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), diare, dan keracunan logam berat.

Krisis sampah bukan hanya persoalan lingkungan, melainkan juga ekonomi dan kesehatan masyarakat. Setiap kantong plastik sekali pakai yang kita buang sembarangan adalah bom waktu yang akan kembali ke tubuh kita lewat air, udara, atau makanan laut yang terkontaminasi mikroplastik. Potensi Sampah Organik ; Sekitar 60–65% sampah nasional bersifat organik, utamanya berasal dari rumah tangga dan pasar tradisional.

Jika diolah menjadi kompos, potensi produksi pupuk organik bisa mencapai 20 juta ton per tahun, cukup untuk mendukung pertanian berkelanjutan dan program ketahanan pangan Presiden RI.

Tidak ada yang lebih nyata daripada sampah di depan mata. Dari jalan perkotaan yang dipenuhi plastik sekali pakai, sungai yang hitam pekat karena limbah, hingga bau menyengat dari TPA yang menumpuk puluhan tahun.

Inilah wajah keseharian saat ini,  jika kita tidak peduli pada sanitasi dan penanganan pengelolaan sampah. Krisis sampah bukan hanya tentang angka statistik, tetapi tentang ruang hidup yang tercemar.

Potensi Sampah Plastik ; 16 – 17% dari total sampah adalah plastik. Indonesia menghasilkan sekitar 7,8 juta ton sampah plastik per tahun, dengan 3,2 juta ton berpotensi mencemari laut jika tidak dikelola. Melalui bank sampah berbasis koperasi desa, nilai ekonomi plastik daur ulang diperkirakan bisa menyumbang Rp15–20 triliun per tahun.

Prinsip penting dalam ekonomi resirkular adalah partisipasi. Masyarakat tidak boleh hanya menjadi konsumen kebijakan, tetapi harus menjadi pelaku aktif. Di sinilah koperasi desa/ kelurahan Merah Putih memainkan peran penting: Mengorganisir warga untuk memilah dan mengolah sampah, menjadi lembaga ekonomi rakyat yang menyalurkan hasil daur ulang ke pasar, membangun solidaritas sosial melalui prinsip kebersamaan dan gotong royong.

Manfaat Sosial-Ekonomi Koperasi Desa akan menjadikan Koperasi desa/kelurahan yang mengelola sampah terbukti mampu meningkatkan pendapatan tambahan warga sebesar Rp300.000–Rp500.000 per bulan (data studi lapangan di beberapa kota). Koperasi juga menjadi wadah resirkular ekonomi: menghubungkan rumah tangga dengan industri daur ulang, sekaligus memperkuat modal sosial masyarakat.

Sementara itu, SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) menegaskan hubungan erat antara sanitasi dan gizi. Hasil pengolahan sampah organik menjadi kompos, dapat digunakan untuk urban farming sayuran sehat yang memperkuat ketahanan gizi keluarga.

Dengan demikian, sanitasi dan gizi bukanlah dua agenda terpisah, melainkan dua sisi mata uang yang sama.

Penggunaan kompos hasil olahan sampah organik pada SPPG untuk urban farming terbukti mampu menambah pasokan sayuran lokal hingga 10–15 kg per rumah tangga per bulan. Kontribusi ini relevan dengan program penurunan stunting nasional, yang menargetkan angka stunting turun menjadi 14% pada 2024.

Namun, jalan menuju ekonomi resirkular tidaklah mulus. Ada sejumlah tantangan: Regulasi: masih terfragmentasi antar-sektor, sehingga perlu harmonisasi kebijakan, Pembiayaan: pengelolaan sampah sering dianggap cost center, padahal jika dikelola dengan baik justru bisa menjadi profit center, Perilaku masyarakat: sebagian masih menganggap sampah sebagai urusan pemerintah, bukan tanggung jawab bersama.

Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan strategi lintas sektor: pemerintah sebagai regulator, HAKLI sebagai pengelola dalam merawat keberlangsungan tugas dan fungsi Tenaga Sanitasi Lingkungan untuk memberikan advokasi dan supervisi pada SPPG dan sumber penghasil sampah di masyarakat, AKKOPSI sebagai penerima manfaat dan penggerak kebijakan daerah, serta masyarakat sebagai pelaku utama. Sinergi ini akan mempercepat peralihan dari paradigma “buang” menjadi paradigma “olah dan manfaatkan kembali”.

Komitmen para kepala daerah yang lahir di Ternate kini menjadi cahaya kecil yang menyebar ke seluruh nusantara. Setiap kabupaten/kota yang melangkah maju, sesungguhnya sedang menuliskan bab baru dalam buku pembangunan Indonesia: bab tentang kemandirian, kesadaran, dan cinta pada bumi.

Sanitasi berkelanjutan tidak bisa hanya dimaknai sebagai “membersihkan lingkungan”, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka ekonomi resirkular.

Bersama AKKOPSI, HAKLI, koperasi Merah Putih, dan SPPG, Indonesia merajut masa depan yang bersih, sehat, dan adil, sebuah simfoni sanitasi keberlanjutan atas kepedulian terhadap negeri dan sesama.

Baca Juga:

80 Tahun RI: Merdekakah Kita dari Sampah: https://sentralpolitik.com/80-tahun-ri-merdekakah-kita-dari-sampah?/

Karena Sanitasi bukan sekadar soal bersih. Ia adalah cermin peradaban, fondasi ketahanan, dan denyut nadi bangsa yang ingin tumbuh berkembang menuju Indonesia Sehat melalui Generasi Emas. (*)

Penulis adalah: Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta/Ketua Umum PP HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)/ Ketua Komite Ahli PMKL (Penanganan Masalah Kesehatan lingkungan) Kementerian Kesehatan.

Baca berita menarik lainnya dari SentralPolitik.com di Channel Telegram