Menjelang penetapan pasangan calon bupati dan wakil bupati oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) pada 22 September mendatang, bukan hanya suhu politik yang mulai memanas, melainkan juga “genderang perang” yang mulai ditabuh sebagai tanda “peperangan”.
—
GENDERANG perang ada yang mulai ditabuh jauh sebelum memasuki masa kampanye Pilkada 2024 dimulai. Genderang itu bukan hanya ditabuh oleh para calon-calon yang akan maju, namun juga partai pengusung hingga masa pendukung.
Bahkan para tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, baik secara langsung maupun tak langsung, yang seyogianya tidak mudah terpancing untuk ”saling menyerang” terhadap para Paslon.
Namun, itulah kenyataan yang terjadi dalam suasana kompetisi di tengah demokrasi di Negeri Duan Lolat.
Masing-masing tim dan pendukung Paslon acapkali “saling serang” dalam berbagai sosial media. Serangan soal politik citra dan tebar pesona sampai klaim kemenangan lawan politiknya.
BUSANA ADAT
Dari 5 Bacalon, ada yang cukup menyita perhatian publik tentang penggunaan Busana Adat Tanimbar yang sengaja dipakai pada beberapa kesempatan yang berhubungan dengan politik.
Sebut saja saat deklarasi dan pendaftaran Bacalon di KPU setempat. Lagi-lagi baju Adat Tanimbar ini digunakan sebagai sebuah legitimasi tentang “KeTanimbarannya” pada Masyarakat Hukum Adat.
Padahal, tidak semua “masyarakat hukum adat” adalah “masyarakat adat”. Begitu juga sebaliknya, tidak semua “masyarakat adat” adalah “masyarakat hukum adat”.
Tak sedikit orang mengalami kesalahan pemahaman dalam membedakan dan menentukan mana yang merupakan “masyarakat adat” dan mana yang merupakan “masyarakat hukum adat”.
Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah geografis tertentu secara turun temurun.
Mereka memiliki ciri-ciri yakni memiliki asal usul leluhur, memiliki kesamaan tempat tinggal, emiliki identitas budaya, memiliki hukum adat, memiliki hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, memiliki sistem nilai, memiliki penguasa-penguasa, memiliki kekayaan sendiri.
Sampai disini, sudah mulai tergambar jelas tentang label “Anak Adat Tanimbar”.
Sementara “masyarakat adat” itu memiliki cirinya sendiri yakni memiliki kesinambungan sejarah dengan suatu wilayah tertentu yang mendiami Negeri Duan Lolat.
Masyarakat adat ini mempertahankan sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda dengan “masyarakat hukum adat” Tanimbar.
Masyarakat adat ini memiliki bahasanya sendiri, budaya sendiri, kepercayaan juga sendiri serta sistem pengetahuan yang berbeda dengan daerah, tempat mereka tinggali saat ini.
Masyarakat hukum adat terbagi menjadi beberapa golongan berdasarkan susunan kekerabatannya, yaitu masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapakan (Patrilinial), masyarakat adat yang susunan kekerabatannya keibuan (Matrilinial), masyarakat adat yang bersendi keibu-bapakan (Parental), masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih (Alternatif).
Dengan penjabaran ini, maka sebagai “masyarakat hukum adat” di Kepulauan Tanimbar, jangan mau “dibodohi dan mudah dieksploitasi” dengan uang.
Hari ini, boleh saja tampilan busana adat Tanimbar bermunculan dimana-mana, seolah-olah “mengklaim dan melebelkan” dirinya lebih pantas disebut sebagai “Anak Tanimbar”.
Konstelasi Pilkada 2024 di Bumi tanah leluhur Duan dan Lolat, harus dimaknai sebagai momentum dan implementasi dari kebutuhan masyarakat adat di Tanimbar saat ini. Bukan semata “jualan busana” keTanimbaran-nya.
Dibalik elegannya pakaian atau busana Tanimbar yang digunakan, ada masyarakat adat yang tersingkir.
Masyarakat Hukum Adat acapkali dijadikan sebagai strategi perjuangan dan mobilisasi masa di Pilkada.
KILAS BALIK
Coba kita kilas balik di Pilkada MTB/KKT tahun 2010 silam. Juga diikuti oleh 5 Paslon dengan jargon masing-masing :
- ORLEAN
- BEST POWER
- LUKI PEDE
- PELAYAN
- PATI
Dari 5 pasang ini, Luki-Pede dengan berani mengambil opsi posisi berbeda dengan 4 Paslon lainnya.
Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa kekuatan satu pihak akan lebih condong kepada Paslon ini. Namun apa hasilnya? Perolehan suara Paslon Luki- Pede bertengker di posisi ke-3.
Fakta ini sangatlah jelas, sekaligus memberikan gambaran kepada Rakyat Tanimbar bahwa keseimbangan 2 poros besar di Negeri Duan Lolat ini wajib diperhitungkan. Dan tahun 2024, ada Paslon yang hendak mengulangi sejarah kekalahan di 2010.
Ya, mungkin Paslon ini menganggap kalau poros besar yang satunya tidak layak diperhitungkan atau mungkin juga menganggap diri mereka “superior” sendiri di tanah leluhur Duan dan Lolat ini.
Baca Juga:
Rengasdengklok Colok ;https://sentralpolitik.com/rengasdengklok-oclok/
“Ditanah MISI ini, apakah mau bertahan untuk digilas? Atau lawan untuk memberikan pembelajaran tentang pentingnya toleransi”. So, marilah berbenah, mumpung masih ada waktu.!! (*)