Politik Kebohongan, Politik Kebenaran dan Demokrasi Indonesia; Perspektif Etika Politik Buddhisme

Costantinus Fatlolon Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik St. Yohanes Penginjil, Ambon costanfat@gmail.com)

Politik pada hakikatnya merupakan cara mengatur sebuah pemerintahan demi kebaikan warga negara berdasarkan nilai-nilai etis universal. Namun, hakikat politik ini dihancurkan oleh para pelaku politik yang secara sadar menyebarkan opini dan infomasi yang tidak benar demi kepentingan politik pribai dan kelompok mereka sendiri. Artikel ini merupakan sebuah eksposisi kritis terhadap politik kebohongan (politics of lying), politik kebenaran (politics of truth), dan demokrasi Indonesia dari perspektif etika politik Buddhisme. Argumentasi utamanya ialah politik kebohongan mengabaikan prasyarat- prasyarat epistemik tentang rasionalitas, kritik, kebebasan, keterbukaan, and partisipasi publik untuk mendiskusikan mengenai isu-isu bersama. Pendalaman demokrasi di Indonesia mengandaikan perwujudan prinsip-prinsip etika “politik kebenaran” seperti rasionalitas, kritik, kebenaran, kesetaraan, keterbukaan, dan partisipasi inlusif warga negara dalam proses pengambilan keputusan tentang masalah-masalah bersama. Kata Kunci: Buddhisme, Demokrasi, Etika, Kebenaran dan Kebohongan, Politik.

Indonesia merupakan sebuah negara hukum demokrasi yang menjamin hak dan kebebasan warganya secara setara untuk terlibat dalam bidang politik dan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 28D Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam bidang pemerintahan.” Pernyataan ini lahir dari kesadaran negara bahwa hak politik merupakan unsur konstitutif dan asasi yang inheren dalam diri manusia secara alamiah. Inilah alasan Aristoteles (1995: I.2.6.1253) menyebut manusia sebagai makluk politik, yaitu pribadi yang secara alamiah memiliki kecenderungan dan kemampuan untuk bersosialiasi dan terlibat dalam berbagai jenis asosiasi politik.

Peranan  utama  politik dan komunitas politik adalah menghasilkan kehidupan  yang bernilai, yaitu keadilan dan kebahagiaan masyarakat. Manusia yang terlibat dalam politik diberkahi kemampuan berbicara untuk menghasilkan argumen-argumen moral untuk kebaikan masyarakat  umum.  Dikatakan Aristoteles (1995: I.2.7.1253),  “Ucapan…  berfungsi  untuk memperjelas apa yang bermanfaat dan apa yang merugikan, dan begitu juga apa yang adil dan apa yang tidak adil.” Tujuan utama politik adalah untuk mencapai keadilan dan kebahagiaan hidup bersama (bonum commune).

Idealisme politik di atas semakin problematis saat ini dengan hadirnya berbagai bentuk kebohongan, termasuk berita palsu, yang berkembang di media sosial (Aguas, 2023; Prasetyo, 2022; Adiputra, 2021). Dalam ranah politik praktis, beberapa politisi mengucapkan ujaran-ujaran kebohongan untuk meyakinkan publik agar percaya bahwa apa yang mereka disampaikan adalah sebuah kebenaran (Talisse, 2018; Rosenfeld, 2021).

Ada pula yang atas nama kebebasan secara sadar melakukan ujaran kebencian di ruang publik dan media massa sehingga memantik konflik horizontal di tengah masyarakat (Howard, 2019). Akibatnya, terjadi  degradasi  budaya  politik  yang rasional  dan  bermartabat  dan pengabaian terhadap prasyarat-prasyarat epistemik yang diperlukan untuk mendiskusikan secara imparsial ketidaksetujuan mengenai isu-isu sosial-politik (Casto, 2019). Lebih dari itu, terjadi pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip etika politik yang menjadi dasar kehidupan demokratis seperti keadilan, kebenaran, diskursus rasional, dan musyawarah-mufakat.

Berhadapan dengan problem tersebut, para intelektual dan penulis etika politik Buddhisme telah berupaya mencari solusi alternatif untuk membangun kehidupan politik Indonesia yang lebih demokratis. Menurut Tantra (2021), politik Indonesia harus senantiasa disertai dengan kebijaksanaan untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran. Shofwan (2021) menegaskan perlunya prinsip etis bagi para politisi dan apparat negara untuk membangun bangsa dan negara Indonesia dalam keberagaman. Sedangkan Purwanti (2019) menegaskan bahwa dari perspektif Agama Buddha hoaks tak dapat ditolerir. Masyarakat perlu mengembangkan cara melihat dan berpikir yang benar agar tidak terjadi lagi kebohongan di tengah masyarakat.

Karya-karya di atas lebih menjelaskan tentang pahaman politik, etika politik dan applikasinya terhadap kehidupan bersama dan bernegara tetapi tidak membahas secara khusus politik kebohongan dan politik kebenaran menurut etika politik Buddhisme untuk pembangunan demokrasi Indonesia. Artikel ini bertujuan mengatasi kekurangan tersebut dengan memberikan sumbangan teoretis bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

Pertanyaan utama penelitian ini ialah paradigma politik apakah yang diperlukan saat ini untuk membangun Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi? Artikel ini mempertahankan argumen bahwa pemerintah Indonesia perlu menghidupi paradigma “politik kebenaran” (politics of truth), yaitu komitmen moral para pejabat atau otoritas publik, termasuk para politisi, untuk mengembangkan kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh anggota masyarakat melalui cara merasa, berpikir, melihat, berkata, dan bertindak yang benar.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan eksposisi kritis. Pendekatan eksposisi adalah usaha untuk membahas topik penelitian dengan menyajikan informasi secara jelas melalui penelitian terhadap literatur seperti buku, jurnal, internet dan lain sebagainya (Khotari, 2004:2). Dalam konteks ini, penelitian ini akan meneliti pandangan etika polotik Buddhisme tentang politik kebohongan, politik kebenaran dan demokrasi serta aplikasinya bagi pembangunan demokrasi Indonesia.

Sedangkan  pendekatan  kritis  adalah  usaha  untuk  menganalisis  secara  mendalam prinsip-prinsip normatif dan praktik-praktik nyata dengan tujuan untuk menilai bagaimana praktik-praktik tersebut berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip normatif.

Pendekatan ini juga berusaha mencari solusi alternatif bagi persoalan yang dihadapi (Dryzek, 1995: 109). Dalam konteks penelitian ini, pendekatan kritis digunakan untuk menilai sejauhmana demokrasi Indonesia telah sejalan dengan prinsip-prinsip etika Buddhisme sekaligus menunjukkan jalan keluar berdasarkan perspektif tersebut.

Konsep Politik Menurut Etika Buddhisme

Buddhisme umumnya dipahami sebagai “sistem metafisik atau agama-filosofis yang menyajikan pandangan total tentang dunia dan tempat manusia di dalamnya, termasuk resep untuk mengatur urusan manusia” (Jayasuriya, 2008: 42). Buddhisme memainkan peran penting dalam pembentukan negara serta dalam cara-cara yang kurang formal dalam menafsirkan dan menginformasikan proses sosial dan politik sejak awal hingga saat ini. Karena itu, politik selalu menjadi bagian dari agama Buddha (Harris, 2007).

Lalu, apa itu politik menurut Buddhisme? Agama Buddha mengajarkan bahwa politik adalah aktivitas manusia untuk memerintah masyarakat dan mengendalikan institusi masyarakat berdasarkan kebenaran. Tujuan utama dari politik adalah untuk memastikan stabilitas sosial, keadilan dan perdamaian. Politik harus mempromosikan hukum dan peraturan, menghukum pelanggaran dan mencegah kemiskinan ekstrim yang dapat menyebabkan kejahatan, konflik dan perang.

Politik senantisa berurusan dengan cara mengatur pemerintahan. Ada berbagai macam bentuk pemerintahan seperti monarki, otokrasi, atau demokrasi. Dalam perspektif Buddhisme, istilah pemerintahan (khattavijjà atau pālanavijjà) mengacu pada penerapan teori politik pada administrasi suatu negara (Singh, Ansari, and Singh, 2009: 1109).

Dalam Kanon Pāli diceriterakan bahwa Sang Buddha lebih memilih sistem pemerintahan republik. Mahāparinibbāna Sutta menjelaskan bahwa pilihan ini didasarkan pada Sang Buddha berdasarkan logika etika humanistik. Ia kemudian menasihati warga Vajji dari Vasili yang diancam oleh raja agresif yang mengamuk (Ajatasatru) untuk bertindak dengan hati-hati dan terampil menggunakan bentuk-bentuk resolusi konflik berdasarkan prinsip demokrasi dan saling menghormati (Jayasuriya, 2008). Ia kemudian meminta mereka untuk mengadakan pertemuan rutin dan sering untuk membahas urusan negara secara kolektif satu sama lain (Singh, Ansari, and Singh, 2009).

Konsepsi demokrasi yang diajarkan sang Buddha berdasarkan prinsip persamaan semua warga negara di hadapan hukum (equality before the law). Setiap orang memiliki hak yang sama  untuk  memilih  dan  dipilih  sebagai  pemimpin  masyarakat.  Pemimpin  yang terpilih dianggap sebagai “Yang Agung (Maha Sammata),” yaitu seorang yang saleh, tampan, dan menyenangkan. Ia dipilih oleh seluruh rakyat, diberi wewenang untuk memerintah, dan mampu menghukum orang yang melakukan kesalahan, dan berhak mendapatkan imbalan berupa sebagian dari beras rakyat (Harvey, 2000: 114). Ia juga haruslah seorang yang memiliki standar moral yang tinggi, termasuk kekuatan fisik atau ketangkasan dan kekuatan otot seperti yang diterapkan dalam pemerintahan dan peperangan.

Dalam menjalankan pemeritahan, pemimpin terpilih harus diberdayakan dengan kekuatan material-kekayaan dan sumber daya material. Ia harus memiliki para pejabatnya yang berkualitas, yang tahu dan siap menjalankan tugas mereka masing-masing. Dia harus menjadi orang dengan kekuatan bangsawan dan memiliki kebijaksanaan atau kecerdasan untuk memimpin rakyatnya.

Secara indah Jayasuriya (2008: 56) menjelaskan prototipe pemimpin yang diidamkan rakyat dengan mengutip Cakkavatti-Sīhanāda Sutta: “Seorang raja itu murah hati, memiliki indra terkendali, siap untuk berkorban, lugas dalam urusan, lembut dan baik hati, mampu menderita demi rakyat, bebas dari amarah dan kebencian, ia berbelas kasih ke pada semuanya, toleran dan sangat mudah didekati.”

Politik merupakan instrumen untuk membangun kualitas manusia yaitu inklusifitas, kesetaraan dan solidaritas. Namun, dalam proses politik selalu ada kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin atau otoritas. Pemimpin yang tidak etis dipandang sebagai tiran, tidak toleran, sewenang-wenang, otokratis, serakah, dan perampas. Salah satu kerusakan akibat kefasikan seorang pemimpin adalah politik kebohongan.

Politik Kebohongan Menurut Etika Buddhisme

Etika pada hakikatnya merupakan ajaran tentang baik dan jahat, apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dilakukukan seseorang dalam relasi dengan orang lain, entah dalam pikiran, tindakan, sarana, atau motiviasi. Singkatnya, etika mengajarkan bagaimana kita seharusnya hidup dalam hubungan dengan orang lain (Dupré, 2013; Bernstein, 1998).

Etika Buddhisme menggunakan dua istilah khas untuk menilai kondisi-kondisi pikiran, tindakan, dan motivasi etis seseorang dalam relasi dengan orang lain, yaitu “yang bai k” (kusala) dan “yang jahat” (akusala). Menurut Nyanaponika Thera (1999: 20), istilah kusala merujuk pada pikiran yang sehat (Arogya), tanpa cacat moral (annavajja), dan mendatangkan hasil tindakan yang menyenangkan (sukha-vipaka). Sedangkan akusala adalah keadaan pikiran yang tidak sehat (gelañña), salah secara moral dan tercela (sāvajja), dan membawa akibat yang tidak menyenangkan (dukkha-vipaka).

Jadi, yang baik dan yang jahat dalam etika Buddhisme berkaitan erat dengan pikiran, perkataan, tindakan, dan motivasi. Pikiran, perkataan, tindakan, dan motivasi yang baik menghasilkan kebahagiaan. Sebaliknya, pikiran, perkataan, perbuatan dan motivasi yang tidak baik akan menghasilkan kehidupan yang tidak membahagiakan (Payutto 1999: 19). Salah satu bentuk akusala adalah berbohong.

Secara tradisional, istilah berbohong dipahami sebagai sebuah tindakan seseorang yang membuat pernyataan salah yang diyakini sebagai benar dengan maksud untuk menipu orang lain (Rutschmann and Wiegmann, 2017).

Menurut Edwin (2015), ada empat syarat agar terjadi suatu kebohongan, yaitu (1) harus ada seseorang yang membuat pernyataan, (2) orang tersebut percaya bahwa pernyataan itu salah, (3) ada pernyataan tidak benar yang disampaikan kepada orang lain, (4) dan motivasi atau niat untuk membohongi orang lain. Keempat syarat ini menunjukkan bahwa berbohong bukan hanya masalah komunikasi melainkan tindakan yang disertai niat yang tidak baik untuk mengkomunikasikan apa yang diyakini sebagai salah kepada orang lain. Berbohong adalah sebuah perbuatan salah dan tidak baik secara etis.

Bagaimana kita menghubungkan pengertian di atas dengan politik kebohongan? Dalam ranah politik, istilah tersebut mengacu pada pernyataan pemahaman salah yang diyakini benar oleh pemimpin atau penguasa dengan maksud menggiring publik untuk untuk mempercayainya.  Bentuk-bentuk  politik kebohongan  dapat berupa  pengingkaran  (denial) terhadap fakta-fakta atau kebijakan-kebijakan yang ada, usaha-usaha untuk menutup-nutupi (cover up) tindakan-tindakan politik yang mengganggu informasi yang benar tentang ekonomi atau lingkungan, pembentukan persetujuan (manufacturing consent) dengan maksud untuk menipu atau mengaburkan persepsi publik, dan tindakan tebak-tebakan (charades) untuk mencapai tujuan kebohongan (Cliffe, Ramsay, and Bartlett, 2000: xii).

Ada dua motivasi bagi seorang pemimpin politik untuk berbohong. Pertama, untuk melayani kepentingan nasional. Bagi mereka, kepentingan nasional adalah tujuan atau nilai penting suatu bangsa yang melampaui kepentingan individu atau kelompok tertentu (Ramsay, 2000: 30).

Kedua, untuk melindungi kepentingan pribadi pemimpin itu sendiri atau kepentingan teman-temannya. Jenis kebohongan ini sangat berbahaya karena para pemimpin politik dengan sengaja berbohong kepada warganya sendiri (Mearsheimer, 2011: 39-43).

Seluruh penjelasan di atas menunjukkan bahwa esensi politik kebohongan bukan hanya terletak pada benar atau salahnya materi pernyataan seorang pemimpin politik melainkan terlebih pada niat yang sadar atau motivasi untuk menyesatkan orang lain dengan informasi yang salah. Motivasi lain dari politik kebohongan adalah usaha menyebarkan informasi atau berita yang tidak benar untuk mendapatkan keuntunngan demi membahagiakan diri sendiri (Cliffe, Ramsay, and Bartlett, 2000: 3). Kedua motivasi ini sangat mengkhianati prinsip-prinsip etika Buddhisme.

Teks-teks Buddhisme dengan tegas melarang semua orang, termasuk pemimpin politik, untuk melakukan tindakan yang salah dengan mengambil sesuatu atau menafsirkan suatu teks secara sengaja demi tujuan membohongi orang lain.

Semua kebohongan, entah ringan (lahuka) atau berat (garuka), tidak dapat dibenarkan secara etis dilakukan seseorang karena berbohong tidak beda dengan menyerang eksistensi orang lain (Nance, 2011: 79-80). Jadi, tidak ada pengecualian bagi siapapun untuk berbohong. Praktek-praktek berbohong dapat berupa penipuan, perkataan melebih-lebihkan, penipuan non-verbal dengan isyarat atau indikasi lain, pernyataan yang menyesatkan, menyebarkan berita yang tidak diketahui secara pasti, mengkritik secara berlebihan, dan mengutuk hal-hal yang kita sendiri tidak yakini. Semua praktik ini dianggap sebagai perilaku yang tidak etis untuk dilakukan dalam masyarakat (Harvey, 2000: 74).

Apa akar penyebab seseorang berbohong, termasuk melakukan politik kebohongan, menurut etika Buddhisme? Buddhisme melihat jauh ke dalam lubuk hati manusia dengan mengedepankan  motivasi  moral  seseorang.  Akar  kebohongan  didorong oleh  keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan delusi (moha).

Keserakahan adalah keadaan nafsu, mencari ketenaran dan tatanan dogmatis yang melekat dalam setiap gagasan. Tujuan utama keserakahan adalah mendapatkan kenikmatan (Thera, 1999: 21). Orang serakah akan mudah berbohong karena ingin mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang-orang yang terdekatnya. Orang serakah juga melakukan kebohongan dengan maksud memproleh kekayaan materi, posisi, rasa hormat, kekaguman, pemanjaan diri, nafsu lahiriah, sifat posesif, kenikmatan indrawi, ketenaran, dan sebagainya.

Kebencian adalah suasana pikiran yang ditandai dengan gangguan, kemarahan, dan kebencian membara. Dalam Buddhisme, kebencian digambarkan sebagai ular yang diprovokasi untuk menyebarkan setetes racun, membakar hutan, dan menganiaya musuh ketika mendapat kesempatan (Thera, 1999: 22). Orang yang dimotivasi oleh kebencian akan mudah melakukan kejahatan berbohong dengan maksud untuk menyakiti dan menghancurkan orang lain.

Sedangkan khayalan atau fantasi mengacu pada misorientasi spiritual atau keadaan pikiran yang panik, salah, dan ragu-ragu tentang masalah moral dan spiritual. Orang yang berkhayak pada dasarnya mendistorsi kebenaran atau berpaling darinya dan menganggap dirinya sebagai pusat kebenaran (Thera, 1999: 23).

Orang yang berkhayal mudah melakukan kebohongan termasuk mudah berprasangka terhadap orang lain, fanatik, sombong, bersikap irasional, kompulsif, membesar-besarkan hal-hak yang menarik, dan membuat kebohongan demi sebuah lelucon.

Singkatnya, faktor determinan di balik politik kebohongan adalah niat untuk menipu. Bhikkhu Bodhi dengan bijak mengatakan: “Jika seseorang mengatakan sesuatu yang salah dan percaya itu benar, tidak ada pelanggaran sila karena niat untuk menipu tidak ada. Meskipun niat menipu umum terjadi pada semua kasus ucapan salah, kebohongan dapat muncul dalam berbagai samaran bergantung pada akar motivasi, apakah keserakahan, kebencian, atau delusi” (Bodhi, 1998: 44).

POLITIK KEBENARAN DAN DEMOKRASI INDONESIA

Salah satu hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia adalah hak atas informasi. Hal ini diungkapkan dalam Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Pernyataan konstitusi ini jelas namun tidak senantiasa ditaati oleh sebagian para pemimpin dan warga negara. Hal ini ditandai dengan munculnya berita bohong yang berseliweran di media massa daring dan luring.

Demi mencapai kepentingan dan abisi pribadi atau kelompoknya, segelintir orang telah mengkhianati eksistensinya sebagai makluk komunikatif dengan melakukan pembohongan politik. Tindakan ini melahirkan ketidakharmonisan, perselisihan, polarisasi politik, dan konflik sosial masyarakat (Tapsell 2019;  Utami,  2018).  Menyiasati  fenomena  tersebut,  Buddhisme  menawarkan  solusi  dan paradigma alternatif.

Politik adalah Sarana Bukan Tujuan

Menurut etika politik Buddhisme, politik adalah sarana atau instrumen untuk mencapai tujuan kepentingan dan kesejahteraan umum. Praksis politik Indonesia tidak boleh dijadikan sebagai tujuan oleh para pemimpin politik untuk mencapai ambisi pribadi dan kelompoknya untuk menguntungkan diri sendiri. Politik harus menyejaterahkan semua anak bangsa tanpa kecuali.

Dalam konteks ini diperlukan para legislator yang tanggap terhadap kebutuhan konstituen mereka dengan sesering mungkin melaksanakan visitasi ke daerah-daerah untuk melihat langsung keadaan dan menyerap aspirasi mereka sehingga perumusan kebijakan- kebijakan politik bisa mengakomodir kepentingan masyarakat, terlebih yang berada di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal di beranda Ibu Pertiwi.

Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik

Untuk membangun pemerintahan Republik Vijayy, Sang Buddha memberikan beberapa syarat yang harus dilaksanakan secara terus menerus oleh masyarakat, antara lain: (1) mengadakan pertemuan bersama secara teratur, (2) bertemu secara rukun, berpisah secara rukun, dan menjalankan bisnis secara rukun, (3) tidak mengizinkan apa yang telah tidak diizinkan, tetapi berjalan sesuai dengan apa yang telah diizinkan oleh tradisi kuno mereka, (4) menghormati, menghargai, dan menyalami para sesepuh di antara mereka, dan menganggap mereka layak untuk didengarkan.

(5) tidak menculik istri dan anak perempuan orang lain secara paksa dan memaksa mereka untuk tinggal bersama mereka, (6) menghormati, menghargai, memuja dan memberi hormat pada kuil Vajjian baik di dalam maupun di luar negeri, tidak menarik dukungan yang dengan tepat telah dibuat dan diberikan sebelumnya, (7) membuat ketentuan yang tepat untuk keselamatan para Arahat, sehingga Arahat seperti itu mungkin datang di masa depan untuk tinggal di sana, dan mereka yang sudah ada di sana dapat berdiam dengan nyaman (Harvey, 2000: 113).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *