Politik Kebohongan, Politik Kebenaran dan Demokrasi Indonesia; Perspektif Etika Politik Buddhisme

Costantinus Fatlolon Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik St. Yohanes Penginjil, Ambon costanfat@gmail.com)

Pembangunan demokrasi Indonesia menuntut adanya pola penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan sedemikian adalah partisipasi aktif dari semua pihak baik dari sektor formal dan informal dalam proses pengambilan keputusan.

Kehidupan masyarakat demokratis mengadaikan partisipasi aktif pria dan wanita, kaum tua dan muda, para pemimpin politik dan masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk “mengidentifikasi nilai-nilai bersama, kebutuhan dan tantangan, menetapkan prioritas dan mengembangkan program-program dan bersama-sama mengelola pelaksanaan program-program untuk keuntungan maksimal semua orang” (Bhat, 2004: 221).

Penjelasan di atas sebenarya sudah ada dalam sistem demokrasi Pancasila namun harus terus digiatkan agar masyarakat tidak tetap berada dalam garis marjinal pengambilan keputusan. Yang diperlukan adalah penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan gender, dan penghormatan penuh terhadap supremasi hukum. Hukum tidak boleh diinstrumentalisasikan untuk mencari kepentingan pribadi melainkan untuk membebaskan dan memberikan rasa keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia (Asshidiqie, 2012: 21).

Politik Berlandaskan Prinsip-Prinsip Etika Kebenaran

Menurut etika politik Buddhisme, politik dan praktek pemerintahan harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika kebenaran sehingga hak-hak dasar, keadilan, dan kemakmuran dapat tercapai dalam masyarakat. Tetapi apakah itu kebenaran? Menurut Thanissaro Bhikku (2016), istilah “kebenaran” (sacca) mengacu pada dua arti yang berbeda, yaitu kejadian atau pengalaman yang benar dan pernyataan yang benar.

Kebenaran sebagai kejadian atau pengalaman yang benar berarti sesuatu benar-benar terjadi atau pengalaman aktual. Sedangkan kebenaran sebagai pernyataan yang benar merujuk pada ajaran Sang Buddha sendiri tentang bagaimana manusia memperoleh kebahagiaan dalam dunia dan akhirat.

Untuk membangun negara dan pemerintahan demokratis berdasarkan politik kebenaran, Sang Buddha mengajarkan prinsip-prinsip etis yang dikenal sebagai “Delapan Jalan Mulia” atau “Jalan Tengah” (majjhimā paṭipadā) menuju pembebasan. Berikut ini uraian tentang prinsip-prinsip etis tersebut dan aplikasinya bagi pembangunan  demokrasi dan politik di Indonesia.

Pandangan yang Benar

Menurut Buddhisme, istilah pandangan pertama-tama berarti pemikiran, pengetahuan, atau kebijaksanaan yang menembus ke dalam hakikat realitas untuk memperoleh wawasan yang mendalam.

Pandangan yang benar mengandaikan bahwa manusia memiliki pemikiran, pengetahuan atau kebijaksanaan dalam memandang dunia sebagai sebuah aliran perubahan terus menerus, tidak memuaskan, atau sebagai proses terkondisi. Lebih dari sekedar pandangan atau pemikiran, istilah pandangan juga berarti “niat atau motivasi yang yang benar” (samma kappa).

Istilah terakhir ini “merujuk secara spesifik pada aspek tujuan atau buah pertama dari dari aktivitas mental” (Bodhi, 1998: 26). Menurut Buddhisme, “ketika niatnya benar, tindakannya akan benar, dan untuk niat menjadi benar jaminan yang paling pasti adalah pandangan benar” (Bodhi, 1998: 28).

Niat benar memiliki tiga elemen dasar. Pertama, niat untuk melepaskan. Unsur ini dianggap Buddhisme sebagai kunci menuju kebahagiaan. Sarana yang ditawarkan Buddhisme untuk membebaskan pikiran dari keinginan adalah pemahaman.

Hal ini tidak berarti bahwa manusia harus memaksakan untuk menyerahkan hal-hal yang masih berharga di dalam hatinya melainkan mengubah perspektif kita terhadapnya sehingga tidak lagi mengikat manusia (Bodhi, 1998: 31-32).

Demokrasi Indonesia berdasarkan politik kebenaran membutuhkan kerelaan untuk mengubah paradigma berpikir, mempertimbangkan secara bijaksana, dan melihat ke dalam aspek tersembunyi dari tindakan berpolitik, mengeksplorasi hasilnya, dan mengevaluasi kelayakan tujuan berpolitik. Melalui pertimbangan yang bijak, demokrasi dan politik Indonesia bukan didasarkan pada apa yang menyenangkan atau strategis tetapi lebih pada apa yang benar.

Kedua, niat baik (metta) atau “kasih sayang”. Dalam Buddhisme, istilah metta berarti kebajikan, keramahan, persahabatan, niat baik dan minat aktif pada orang lain, atau lebih tepat teman sejati yang membutuhkan (Thera, 1994).

Demokrasi Indonesia dan politik yang dimotivasi oleh metta berkomitmen untuk mendobrak batasan dan penghalang antar manusia dan mengembangkannya untuk semua makhluk (sabbe satta bhavantu sukhitatta) agar semua orang saling melindungi dan mengasihi satu sama lain sebagai satu kesatuan anak bangsa.

Ketiga, niat untuk tidak menyakiti (karuna) atau sikap “welas asih”. Dalam Buddhisme, istilah ini mengacu pada keutamaan keinginan untuk menghilangkan penderitaan orang lain. Demokrasi Indonesia yang dimotivasi oleh karuna didasarkan pada penghargaan dan cinta terhadap sesama melampaui melampaui ruang dan waktu yang terbatas hingga mencakup semua makhluk hidup tanpa kecuali, bagaikan seorang ibu yang penuh kasih merasakan belas kasihan kepada semua anaknya terlepas dari apakah mereka berperilaku baik atau buruk. Politik karuna di Indonesia mengandaikan para pemimpin dan otoritas publik siap melayani rakyatnya dengan motivasi altruistik.

Keputusan yang benar

Buddhisme menjelaskan bahwa keputusan yang benar berkaitan dengan emosi yang mengantar manusia menuju kebebasan damai. Demokrasi Indonesia berdasarkan politik kebenaran menuntut bahwa para pemimpin masyarakat Indonesia perlu menjauhkan diri dari niat jahat dan kekejaman untuk menipu sesama. Mereka harus menunjukkan cinta dan belas kasih kepada semua melalui keputusan-keputusan yang tepat.

Keputusan-keputusan yang benar melampaui semua sensualitas dan mengarahkan niat kita menuju Nibbāṇa.

Ucapan yang benar

Ucapan penting bagi etika Buddhisme karena berfungsi sebagai sarana untuk mengirimkan pesan dan mencerminkan karakter dan moralitas seseorang (Indasara, 2018b). Kualitas kepengurusan dan institusi politik terlihat dari ucapan atau percakapan yang benar karena dimensi ini tidak sekedar masalah teknis tetapi terkait erat dengan perilaku moral para penguasa  (Agree,  2002).

Buddhisme  membagi  ucapan  benar  menjadi  empat komponen (Bodhi, 1998: 43).

Pertama, menjauhkan diri dari ucapan salah (musavada veramani). Pemimpin politik yang layak dipercaya adalah dia yang mengatakan kebenaran dan mengabdi pada kebenaran (Bodhi, 1998: 44). Demokrasi Indonesia akan menghasilkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat apabila para memimpin dan rakyat Indonesia layak dan dapat dipercaya karena mereka tidak pernah dengan sengaja mengatakan kebohongan, baik untuk keuntungan dirisendiri, atau untuk keuntungan orang lain, atau untuk keuntungan apapun.

Kedua, tidak mengucapkan kata-kata fitnah (pisunaya vacaya veramani) yang dimaksudkan untuk menciptakan permusuhan dan perpecahan, untuk mengasingkan satu orang atau  kelompok  dari  orang lain.  Motif  di  balik  ucapan  fitnah  adalah  kebencian terhadap kesuksesan atau persaingan, niat untuk menjatuhkan orang lain dengan penghinaan verbal (Bodhi, 1998: 46-47).

Ucapan-ucapan para politisi, pemimpin, dan warga negara Indonesia harus mempromosikan persahabatan dan harmoni satu sama lain. Ucapan-ucapan itu keluar dari pikiran yang penuh cinta kasih dan simpati sehingga dapat memenangkan kepercayaan dan kasih sayang orang lain sehingga mereka, sebagaimana dikatakan Bodhi (1998), merasa bisa mencurahkan isi hati mereka tanpa takut dan apa yang diungkapkan akan digunakan untuk melawan mereka.

Ketiga, tidak mengucapkan kata-kata kasar (pharusaya vacaya veramani) yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain melalui kata-kata pelecehan, penghinaan, atau menyindir (Bodhi (1998: 48). Para pemimpin negara dan warga negara Indonesia perlu belajar mentolerir kesalahan dan kritik dari orang lain, bersimpati dengan kekurangan mereka, menghargai perbedaan sudut pandang, menanggung pelecehan tanpa merasa harus membalas, dan menembus dengan pikiran yang penuh kasih, luas, dalam, tanpa batas, terbebas dari amarah dan kebencian.

Dan, keempat, menjauhkan diri dari obrolan kosong (samphappalapa veramani). Obrolan kosong tidak mengkomunikasikan apa pun yang berharga, tetapi hanya menimbulkan kekotoran batin dalam pikiran seseorang dan orang lain (Bodhi, 1998: 48-49).

Para pemimpin politik dan warga negara Indonesia perlu membatasi pembicaraan yang tidak berguna dan lebih membicarakan hal-hal yang benar-benar penting bagi kesejahteraan orang lain

Bertindak yang Benar

Menurut Buddhisme, tindakan yang benar berarti menjauhkan diri dari perilaku jasmani atau duniawi yang salah. Politik yang benar berisikan pesan etis agar para pemimpin tidak melakukan perilaku tidak bermoral salah seperti serangan yang gencar terhadap makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan perbuatan salah sehubungan dengan kenikmatan indriawi.

Demokrasi Indonesia membutuhkan para pemimpin dan warga negara ekseplarit yang mampu memberikan teladan kesalehan dan menjadi perakat anak bangsa melakui ucapan dan tindakannya yang benar.

Mata Pencaharian yang Benar

Buddha menguraikan jalan ini sebagai cara untuk menghindari cara-cara mencari nafkah yang menyebabkan penderitaan bagi orang lain berdasarkan tipu daya dan keserakahan, atau perdagangan senjata, makhluk hidup, daging, minuman beralkohol atau racun.

Para pemimpin politik Indonesia adalah orang-orang terpilih yang dipercayakan masyarakat untuk menjaga keadilan dan mengatur kesejahteraan masyarakat. Profesi mereka sebagai pelayan masyarakat menuntut mereka untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela untuk memperoleh kepentingan sendiri dan kelompoknya. Mereka harus tampil sebagai pribadi-pribadi yang bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Usaha yang Benar

Usaha yang benar dipahami oleh Buddhisme sebagai upaya-upaya untuk mengembangkan pikiran dengan cara yang bermanfaat. Dalam mengusahakan kesejahteraan rakyat, para pemimpin politik dapat mengusahakan empat upaya moral.

Pertama, menghindari munculnya kondisi pikiran tidak bermanfaat yang mengungkapkan kemelekatan, kebencian, dan delusiUpaya kedua adalah berusaha untuk mengatasi atau merusak kondisi pikiran tidak bermanfaat yang muncul. Upaya ketiga diarahkan pada pengembangan meditatif dari kondisi pikiran bermanfaat. Dan upaya keempat adalah memelihara dan menstabilkan kualitas pikiran yang bermanfaat.

Perhatian yang Benar

Menurut Buddhisme, jalan ini mengacu pada keadaan kesadaran yang tajam akan fenomena mental dan fisik saat muncul di dalam dan di sekitar seseorang, dan dengan cermat mengingat  hubungan  antara  berbagai  hal.  Para  pemegang otoritas dan  pemimpin  politik Indonesia hendaknya tidak hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya melainkan harus memperhatikan kepentingan seluruh rakyat.

Mereka perlu memberikan perhatian secara seimbang untuk seuruh dimensi kehidupan masyarakat sehingga terjadi kesimbangan perhatian dalam segi-segi kehidupan bermasyarakat. Labih dari itu, mereka perlu memiliki kepekaan terhadap fenomena yang muncul dalam kehidupan individu dan masyarakat dan memberikan perhatian yang tepat untuk mengatasi bila terjadi masalah.

Penyatuan Mental yang Benar

Dalam  Buddhisme,  jalan  ini  mengacu  pada  berbagai  tingkat  ketenangan  batiniah (jha ̄nas) yang muncul dari perhatian yang secara dekat fokus pada objek meditasi. Di tengah kesibukan mereka mengurus kehidupan publik, para pemimpin masyarakat diharapkan memiliki waktu untuk merefleksikan ucapan, pikiran, tindakan, dan motivasi mereka.

Indonesia  adalah  masyarakat  agamis.  Ucapan  dan  tindak  tanduk  pemimpin  dan  warga masyarakat senantiasa berdasarkan pada keyakinan agama masing-masing. Landasan spiritual ini harus menjadi bagian hidup dari tutur dan tindakan para pemimpin sehingga keputusan – keputusan, ucapan dan tindakan mereka sungguh-sungguh membawa berkat bagi kemaslahaan bersama.

KESIMPULAN

Pembangunan demokrasi Indonesia perlu berlandasarkan pada paradigma politik kebenaran. Politik merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Perwujudan politik kebenaran ini mengandaikan komitmen moral para penguasa dan penguasa terhadap nilai-nilai etis kebenaran yaitu menggunakan kata-kata secara bijak, menginformasikan, membantu atau mengungkapkan kebaikan kepada orang lain, bukan hanya untuk kepentingan mereka sendiri.

Politik kebenaran menuntut pada pemimpin menjauhkan diri dari ucapan salah, tidak mengucapkan fitnah, tidak mengucapkan kata-kata kasar, dan tidak terlibat dalam obrolan kosong. (*)

Baca Juga:

Maluku Miskin, Negara Ini Memelihara Budaya Malin Kundanghttps://sentralpolitik.com/maluku-miskin-negara-ini-memelihara-budaya-malin-kundang/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *