SAUMLAKI, SentralPolitik.com – Dana hibah pembangunan Gereja Katolik Stasi Santo Michael Meyano Bab, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, sebesar Rp1 miliar ludes.
Dana ini habis tanpa menghasilkan bangunan gereja yang layak. Korupsi di kasus ini resmi bergulir di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon.
Ada dua pengurus Panitia Pembangunan Gereja yang diseret di meja hijau. Ketua Panitia, Fransiskus Rumajak dan Bendahara Marthin M.R.A. Titirloloby.
Sidang perdana berlangsung Kamis (18/12/2025) dengan agenda pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Jaksa mengungkapkan, dana hibah dari APBD KKT Tahun 2019 dan 2020 seharusnya untuk membangun rumah ibadah umat Katolik di Desa Meyano Bab.
Namun hingga seluruh dana selesai cair, bangunan gereja belum juga rampung dan belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh umat.
PERJALANAN DANA HIBAH vs PROGRES FISIK
Tahun 2019, Pemda KKT mengalokasikan dana hibah pembangunan Gereja Santo Michael Meyano Bab.
Pencairan tahap awal dari Rekening Umum Kas Daerah ke rekening Panitia Pembangunan Gereja. Panitia kemudian menyampaikan laporan penggunaan dana secara administratif.
Fakta di lapangan, progres fisik pembangunan belum signifikan. Sejumlah pekerjaan utama belum tuntas.
Kemudian, tahun 2020, Pemda kembali meluncurkan dan dana hibah hingga total dana di panitia mencapai Rp1.000.000.000.
Ketua dan Bendahara Panitia sebagai penanggung jawab menarik dana dan mengelola kegiatan.
Faktanya, pembangunan gereja juga masih jauh dari selesai.
Struktur bangunan belum sepenuhnya rampung, sementara laporan pertanggungjawaban menunjukkan dana telah digunakan.
HASIL AUDIT 2025
Hasil Audit Inspektorat KKT Nomor 700/LAK-33/XI/2025 tanggal 28 November 2025 menemukan ketidaksesuaian antara laporan keuangan dan kondisi fisik bangunan.
Progres pembangunan dinilai tidak sebanding dengan besarnya dana hibah dan penggunaannya. Negara pun mengalami kerugian keuangan sebesar Rp1 miliar.
TAK SESUAI RAB
Dalam dakwaannya, Jaksa membeberkan sejumlah pengeluaran yang diduga menyimpang dari Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
Termasuk pembayaran upah tukang dan biaya konsumsi, meskipun sesuai rencana pembangunan secara swakelola oleh masyarakat.
Selain itu, Jaksa juga mengungkap dugaan penggunaan bukti pertanggungjawaban yang tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan.
Secara administratif, dokumen terlihat lengkap, namun tidak sejalan dengan fakta fisik pembangunan.
UMAT MENUNGGU
Akibat dugaan penyimpangan tersebut, umat Katolik di Desa Meyano Bab hingga kini belum dapat menggunakan gereja secara layak untuk kegiatan peribadatan.
Padahal, Pemerintah telah mengucurkan dana hibah guna mendukung sarana keagamaan yang representatif dan masyarakat dapat memanfaatkannya.
Jaksa menegaskan, perkara ini bukan sekadar soal administrasi, melainkan menyangkut integritas pengelolaan dana publik.
“Dana hibah adalah uang negara. Setiap rupiah harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel,” tegas Jaksa di hadapan majelis hakim.
ANCAMAN HUKUMAN BERAT
Atas perbuatannya, para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor dengan ancaman pidana berat.
Subsidair, keduanya juga didakwa melanggar Pasal 3 UU Tipikor, juncto Pasal 55 dan Pasal 64 KUHP.
Baca Juga:
Kasus Gereja Meyano, Jaksa Tahan Dua Tersangka; Ada Upaya Loloslam Fatlolon: https://sentralpolitik.com/kasus-gereja-meyano-jaksa-tahan-dua-tersangka-ada-upaya-loloskan-fatlolon/
Majelis hakim yang dipimpin Wilson Sriver menunda persidangan dan menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi pada 29 Desember 2025. (*)ge






