KALAU Tidak Bisa Dibina, Dibinasakan! Adagium ini berlangsung di Jawa Pos dan Group yang tersebar hampir di seluruh Indonesia.
Tidak tau siapa yang menciptakan adagium itu di lingkungan Jawa Pos. Tapi rasa-rasanya berlaku sampai saat ini.
—
Oiya, di tahun 1999 saya bergabung dengan ‘Jawa Pos’, Group Jawa Pos di Maluku dengan nama Suara Maluku.
Saat itu, konflik horisontal berbau SARA tengah melanda Kepulauan Maluku. Ambon, ibukota Maluku menjadi episentrum konflik.
Suara Maluku koran terbesar di Maluku ini terletak di kawasan Kristen. Otomatis wartawan yang beragama Muslim tidak bisa menjangkau kantornya.
Kekurangan tenaga, Suara Maluku membuka lowongan reporter. Saya mendaftar dan langsung diterima.
Maklum, sebelumnya saya sudah berkutat sebagai wartawan kampus. Ketika masih kuliah, seorang pastor dari Ordo SVD (Serikat Sabda Allah) menggembleng kami dengan ilmu jurnalistik.
Karena itu seleksi di Suara Maluku saya lewati dengan enteng..
Mulai bekerja di Suara Maluku ‘aura’ tidak bisa dibina, maka dibinasakan seakan terus menghantui kami secara ketat dan disiplin.
Bagus juga sih. Tiap wartawan harus bekerja dengan disiplin tinggi, taat pada perintah pimpinan, dilarang sakit dan ini, siap bekerja dibawah tekanan. Tuntas dalam setiap penugasan, dan ini juga; wajib di bawah garis deadline. Garis Mati!
‘BERTEMU’ DAHLAN ISKAN
Nama besar Dahlan Iskan sudah terpatri di hati tiap orang di group Jawa Pos.
Jawa Pos itu Dahlan Iskan dan Dahlan Iskan itu Jawa Pos.
Awal bergabung dengan Suara Maluku, namanya saya dengar saat terjadi ‘insiden’ di kantor Suara Maluku.
Pelaku insiden itu bernama Poppy Putileihalat (almarhum). Ia menjadi Sekretaris Redaksi Suara Maluku saat itu. Sekira tahun 1997-98.
Suatu peristiwa, tanpa kabar berita, Pak Dahlan datang ke Suara Maluku. Blusukan dengan kaos oblong dan sendal seadanya.
Karena hari masih pagi, wartawan-wartawan sudah terjun ke lapangan. Belum banyak karyawan yang masuk kantor. Kecuali Poppy yang sudah ada di kantor.
Karena tidak mengenal pak Dahlan, Poppy basa-basi mempersilahkan pak Dahlan duduk di ruang tamu. Ia kemudian melapor lewat telpon ke Direktur Elly Sutrahitu, kalau ada tamu yang datang mencari Sutrahitu.
“Duduk dulu ya pak, pak Elly lagi siap-siap datang ke kantor,” katanya kepada Pak Dahlan.
Pak Dahlan mengiyakannya. Tapi pak Dahlan bukannya duduk di tempat, beliau tiba-tiba beranjak masuk ke Ruang Redaksi.
Poppy yang tidak tau siapa pak Dahlan, langsung membentaknya dengan dialog Ambon.
“Eh pak! Sapa suruh masuk di ruang itu. Seng bisa dudu tampa ka? Itu ruang redaksi, tidak bisa masuk sembarangan. Itu ruang rahasia kita,” bentak Poppy dengan mata melotot. Jari tangannya masih menggenggam sebatang rokok.
Pak Dahlan cuma cengar-cengir sambil melihat-lihat ruang Redaksi.
Tak lama berselang pak Elly Sutrahitu tiba di lantai II suara Maluku. Ia memberi hormat yang dalam kepada pak Dahlan.
Sutrahitu kemudian mempersilahkan pak Dahlan masuk ke dalam ruangannya.
“Pak Dahlan hanya bergumam kalau Ruang Redaksi memang harus steril dan tetap bersih,” cerita Poppy. Ia merasa jiwanya melayang setelah mengetahui siapa Pak Dahlan.
Kali ini Poppy yang cengar-cengir saat Dahlan Iskan pamit pulang diantar pak Elly sampai di halaman parkir.
REEL BERTEMU
Tahun 2002, saya mengikuti Pelatihan Redaktur Halaman Metropolis di Graha Pena Jawa Pos di Kota Surabaya.
Semua redaktur Halaman Kota se-Grup Jawa Pos, satu Indonesia, ikut kegiatan selama satu minggu penuh.
‘Aura’ tak bisa dibina maka dibinasakan makin terasa selama pelatihan. Pada satu sesi, kami mendapat pelatihan langsung dari Pak Bos.
Materinya pendek saja, tapi benar-benar tertanam dalam hati. Apalagi petuah membuat kalimat pendek-pendek dalam berita.
Ia lantas secara acak meminta masing-masing membuat berita pendek. Tentu berita diucapkan, tidak lagi dengan tulisan di kertas.
Oiya, saat membawa materi pak Dahlan mendapat pengawalan ketat dari beberapa orang, termasuk kepala security.
“Kita mendapat perintah menjaga pak Dahlan dengan ketat,” cerita salah satu security Graha Pena di pelataran gedung, saat itu.
“Yang paling kita jaga itu beliau tiba-tiba membawa mobil. Sebab setelah itu kita tidak tau beliau kemana. Tau-taunya sudah di luar Surabaya, di kota lain. Kadangkala kita dengar eh sudah di luar negeri,” katanya.
Karena itu, para security mendapat perintah menjaga pak Dahlan. Mengikuti setiap geraknya. Apalagi berada di luar gedung.
AMBON EKSPRES
Tahun 2003 saya resmi hijrah ke Ambon Ekspres. Oiya, ketika konflik terus membesar Jawa Pos memiliki dua media di Ambon; Suara Maluku dan Ambon Ekspres.
Ambon Ekspres sebetulnya berdiri untuk mengakomodir wartawan Muslim yang tidak bisa berkantor di Suara Maluku, bilangan Halong Atas.
Nah, pada titik ini Jawa Pos terutama Dahlan Iskan mendapat kecaman publik nasional.
Sebabnya media dinilai turut membesarkan konflik. Apalagi para wartawan group Jawa Pos terpaksa berhadap-hadapan di konflik Ambon.
Karena itu, pak Dahlan meminta pak Alwi Hamu (Bos Fajar Group) terjun ke Ambon ‘meredam’ konflik internal Jawa Pos di Maluku. Caranya, share berita antara Suara Maluku dan Ambon Ekspres.
Berita Suara Maluku dari komunal Kristen turut dibagi ke Ambon Ekspres. Dan sebaliknya berita di komunal Muslim ke Suara Maluku.
Seperti ‘cover both side’ antar media ala Dahlan Iskan, dan Alwi Hamu sebagai eksekutor.
Dengan cara ini, terjadi “malu hati” antar para wartawan dua media itu.
Dan karena satu Group, saya dan dua teman memilih bergabung dengan Ambon Ekspres.
Belakangan karena satu dan lain hal, Jawa Pos hanya mengakui Ambon Ekspres sebagai anak perusahaan dengan Fajar Group di Makassar sebagai PO-nya.
OTONOMUS
Dahlan Iskan itu luar biasa. Dia berada jauh di Jakarta bahkan luar negeri tapi seluk beluk Maluku banyak dia mafhum.
Kami kagum ketika beberapa kali berdiskusi dengannya saat bertandang ke Maluku. Cerita soal Maluku (dan Maluku Utara) seakan berada di luar kepalanya.
Jauh sebelum Otonomi Daerah berada pada tiap daerah di Indonesia, Dahlan Iskan sudah membentuk Otonomus di daerah-daerah lewat Group Jawa Pos yang berjejer se-Nusantara.
Yah, setidaknya otonomi hidup lewat pikiran, kreatifitas dan karya jurnalis yang menghidupkan anak-anak, putra daerah masing-masing.
Saat ini, ketika Jawa Pos berkonflik dengan Dahlan Iskan, sebentulnya pak Dahlan lagi berkonflik dengan dirinya sendiri. Begitupun, (entah) dengan Jawa Pos.
Siapa yang tidak bisa dibina, dan siapa yang dibinasakan dalam persoalan ini, biar waktu yang menentukan.
Biarlah mereka, yang ‘empunya’ Jawa Pos yang menyelesaikan perkara ini.
Baca Juga:
Rengasdengklok O’Clock: https://sentralpolitik.com/rengasdengklok-oclok/
Konfliknya sudah me-nasional begini, kita yang hanya ‘veteran’ konflik Ambon bisa apa? Semoga tak ada yang di-binasakan di dalamnya. Salam… (*)