AMBON, SentralPolitik.com _ Sidang lanjutan korupsi SPPD Fiktif BPKAD KKT kembali berlangsung di PN Ambon. Kali ini menghadirkan Bupati Kepulauan Tanimbar 2017-2022, Petrus Fatlolon.
PF membantah semua tudingan pada dirinya. Meski begitu Hakim Haris Tewa bergumam kalau PF telah gagal sebagai pimpinan di daerah itu.
—
Selain PF, mantan Ketua DPRD Jaflaun Batlayeri, Wakil Ketua I DPRD Jhon Kelmanutu, Wakil Ketua II DPRD Ricky Jawerisa, Ketua Komisi B Apolonia Laratmase dan anggota DPRD Piet Kait Taborat.
Para saksi ini hadir terkait kasus korupsi yang merugikan negara senilai Rp6,6 milyar. Seperti sebelumnya, Hakim Haris Tewa bertindak sebagai Ketua Majelis dan dua hakim lainnya.
Sidang dibuka dengan keterangan saksi Piet Kait Taborat. “Nama kelima orang ini adalah dalam persidangan. Untuk Petrus Fatlolon, namanya di sebut Ricky Jawerisa. Sampai kondisi dimana terjadi kesepakatan anggaran SPPD Rp. 9 milyar untuk Forkopimda. Jika ada nama hakim, silahkan sebutkan saja,” intro Hakim Tewa mengawali sidang.
DICERCA PH
Kuasa hukum terdakwa Anthony Hatane bertanya kepada Piet Kait Taborat apakah dalam pembahasan APBD 2019 di tahun 2020 terjadi deadlock? Dan era itu siapa bupatinya?
Mendapat pertanyaan awal, anggota DPRD 4 periode ini sempat panik dengan menjawab bahwa tidak ada deadlock dan era itu Petrus Fatlolon menjadi bupati.
Hakim pun memberikan ruang kepada Ricky Jawerisa cs. Mereka membenarkan bahwa ada deadlock.
Selanjutnya, Hatane menyinggung isi chat Piet Kait Taborat pada salah satu WAG terbatas yang membenarkan bahwa ada aliran dana senilai Rp400 juta kepada salah satu anggota DPRD yang kemudian di bagi ke para anggota dewan yang ada dalam Badan Anggaran (Banggar).
KETERANGAN TABORAT
“Benar ada percakapan itu saat ramai pembahasan tentang DPRD. Uang itu diambil oleh Apalonia Laratmase dan diserahkan kepada Jhon Kelmanutu 150 juta dan sisanya dibagi ke anggota Banggar. Tapi tidak semua anggota Banggar menerima itu,” tandas Piet Kait.
Hatane kemudian melanjutkan ke Jaflaun, Apolonia, Ricky, Jidon yang kompak membantah keterangan dari Piet Kait bahwa mereka sama sekali tidak tahu-menahu tentang uang yang disebutkan itu.
Bahkan Jaflaun yang dituding oleh Piet Kait sebagai sumber informasi, dengan lantang menjelaskan bahwa dirinya mengatahui persoalan tersebut pasca rekannya Apalonia dipanggil jaksa untuk diambil keterangan.
DEADLOCK
Hatane kembali mengarahkan pertanyaan ke Ricky. Yang menanyakan tentang adanya deadlock dan berujung 2 fraksi DPRD saat itu walk out dari ruang sidang DPRD.
“Bupati Petrus Fatlolon bilang, teman-teman semua kita amankan LPJ 2020 yang dibahas di 2021. Jadi bukan seperti yang disampaikan bahwa saya ke rumah bupati tahun 2020, tetapi di 2021,” tandas Ricky menjawab pertanyaan Hatane.
Kesempatan diberikan kepada Petrus Fatlolon. Ia memberikan keterangan bahwa terhadap pertangungjawaban APBD 2019.
Dia menugaskan Sekda Ruben B Moriolkossu, yang kalah itu masih berstatus pelaksana tugas, mengingat tahun 2020 baik Ruben maupun terdakwa Yonas sama-sama sementara merebut posisi sekda defenitif.
“Saya tugaskan Ruben dan TAPD, mereka laporkan ke saya bahwa ada deadlock dan akan komunikasikan. Dan Ketua DPRD Jaflaun sampai ke saya bahwa ada jalan keluar,’’ katanya.
CCTV
Alhasil, saling konfrontir antara Petrus maupun DPRD. Bahkan Petrus menyampaikan bahwa dirinya siap membuktikan baik melalui CCTV rumah maupun kantor serta risalah persidangan yang dibawahnya saat itu.
Namun pernyataan Petrus langsung disanggah langsung oleh Jaflaun. Dimana dirinya menjelaskan bahwa Bupati Petrus yang memanggil dirinya untuk bertemu dan menanyakan tentang perkembangan di DPRD dan dalam pertemuan itu.
Tidak pernah dirinya meminta atau menyebutkan sepeser pun uang. Petrus pun menyanggah keras pernyataan Jaflaun itu, dengan membeberkan bahwa setiap sebelum pembahasan R-APBD, DPRD selalu datang menemui dirinya.
“Tiap ada masalah, DPRD ini datang dan berkata ‘kaka ini masti cari solusi. Dan saya jawab silahkan koordinasikan dengan sekda dan TAPD,” terang Petrus yang dibenarkan oleh terdakwa Yonas.
KEMBALI DEADLOCK
Mendengar penjelasan panjang lebar dari para saksi maupun terdakwa, Hakim Tewa pun berkata: “Dapat sudah. JPU dan PH, ini jalan ceritanya sudah masuk, bahwa ada deadlock,” singkat Hakim Tewa memberikan petunjuk.
Mendengar bantahan penolakan baik dari Petrus dan 5 Aleg, Hakim Tewa mengatakan bahwa dari pengakuan semuanya ini tidak ada yang benar.
TERIMA DANA
Harus fokus dan berpatokan pada cerita Ricky Jawerisa pada sidang-sidang sebelumnya. Sebab lanjut Hakim, bila Sekda Ruben B Moriolkossu, hadir sebagai saksi, maka akan membuka lagi fakta baru.
Sidang terus bergulir, PH terdakwa terus melontarkan pertanyaan kepada saksi Petrus tentang adanya laporan terdakwa Yonas kepada sekda dan bupati bahwa semuanya telah beres alias tuntas.
Mendapat pertanyaan itu, Petrus mengaku kalau TAPD mendatangi dirinya dan menyampaikan bahwa semuanya telah ‘beres’ dan telah dijadwalkan paripurna. “Saya prediksi tidak ada makan siang yang gratis,” tandas Petrus.
Hatane masih bertanya juga untuk Petrus, apakah dirinya pernah memerintahkan Yonas untuk membuat kebijakan SPPD fiktif tahun 2020.
Bahkan dalam BAP Kristina Sermatang (Bendahara BPKAD) menyebutkan bahwa Petrus Fatlolon ada menerima sejumlah uang dengan nominal bervariasi, yang diserahkan Kristina kepada Yonas dan Yonas melanjutkan ke Petrus.
“Dengan rincian uang ke Petrus yakni Tp50 juta, Rp30 juta, Rp50 juta, Rp100 juta, Rp25 juta dan Rp15 juta dalam tahun 2020,” beber Hatane dihadapan persidangan.
Petrus pun membantah dengan menyangkal bahwa tidak benar apa yang tuduhkan kepadanya sebagai pihak penikmat uang korupsi ini.
Dengan beralibi bahwa dirinya tidak pernah berkomunikasi dengan bendahara (Kristina) maupun Yonas untuk meminta sejumlah uang. Hal inipun dibantah Yonas bahwa tidak ada uang yang mengalir ke Petrus selaku bupati.
WTP
Kesempatan diberikan Hakim kepada JPU, yang mengungkapkan fakta yang ditemukan penyidik bahwa ada aliran uang ke BPK RI guna muluskan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), dengan iming-iming bonus Dana Insetif Daerah (DID) dengan nilai puluhan milyar.
Tak pelak, Petrus terus membantah setiap fakta yang disampaikan kepadanya. Dengan membangun kembali alibi bahwa BPK yang datang ke KKT, hanya menemui dirinya dengan menunjukan surat tugas bahwa BPK akan melakukan audit pendahuluan. Sedangkan menyangkut bonus DID, dirinya mengaku tidak ingat besaran nilainya.
Bahkan, tudingan bahwa oknum BPK yang melakukan nego dengan Kepala Inspektorat ke Yonas dan selanjutnya ke Petrus.
Petrus membantah bahwa temuan-temuan BPK menyampaikan secara tertulis dan biasanya BPK akan mengirim hasil audit pada dirinya. BPK memberikan waktu kepada Pemda 14 hari untuk menindaklanjuti temuan-temuan BPK.
“Saya selalu disposisi ke Sekda. Secara detail tidak terkait permintaan oknum BPK. BPK menyampaikan ke saya hanya tentang dinas mana yang admistrasinya lambat,” ujar Petrus yang mengaku tidak pernah ada pembicaraan mengenai uang Rp350-450 juta.
BPK
JPU mengejar Petrus lagi dan mempertanyakan apakah BPKAD era itu terdapat temuan, dan Petrus membenarkan bahwa masa itu hampir semua dinas terdapat temuan oleh BPK.
Namun lagi-lagi, pemberian uang ke BPK, dirinya tidak tahu-menahu. Namun ia mengaku bangga ketika Laporan Keuangan Pemda KKT di masanya mendapat opini WTP, keluar dari predikat disclamer.
Bagaimana dengan uang untuk Forkopimda? Petrus mengelak dengan menuding bahwa ada politik adu domba terhadap dirinya dengan Forkopimda. Mengingat dirinya akan kembali mencalonkan diri pada pilkada KKT 2024.
Bahkan Petrus justru menuding balik DPRD, bahwa meminta tambahan anggaran, karena masalah utama ada pada deposito 2020 yang membuat hingga terjadi deadlock.
“DPRD fitnah bahwa bunga deposito itu masuk ke rekening pribadi saya,” ujar Petrus.
Kendati membantah secara tegas bahwa DPRD tidak pernah menerima aliran uang SPPD fiktif ini, namun kelima Aleg ini membenarkan bahwa terjadinya deadlock. Karena pembahasan hingga penetapan APBD di tahun itu telah melompati tahapan.
Hakim Tewa kembali membuka ruang bagi Ricky Jawerisa untuk mempertegas pernyataannya kembali tentang angka penetapan nilai SPPD tahun 2020 yang di rasionalisasi dan di sepakati DPRD senilai Rp1,5 milyar. Namun dirubah sepihak dengan tetap mempertahankan Rp.9 milyar.
“Ricky Jawerisa hanya datang ke saya untuk sampaikan keperluan mereka DPRD dan terkait pernyataannya tersebut, bisa dilihat pada postur APBD,” ujar Petrus yang mengkonfrontir pengakuan Ricky.
DRAKOR
Alhasil, Hakim Tewa langsung mempersilahkan JPU untuk mengusut hal ini, lantaran telah ada fakta-fakta baru.
“Untuk masalah ini, JPU silahkan. Sudah ada fakta-fakta baru. Sudah kaya Drakor saja,” tandas Hakim Tewa.
Hakim Tewa pun melanjutkan, dengan mempertanyakan kepada ke-6 terdakwa apakah ada aliran dana yang mengalir ke bupati.
Namun seperti kompak, mereka para terdakwa ini tidak mengakui aliran tersebut. Hanya di akhir sidang, terdakwa Erwin Laiyan, mantan Kabid Aset menyebutkan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yang akhirnya mendorong pihaknya harus memotong anggaran.
Namun uang-uang itu tidak mengalir di dalam bidangnya. “Uang itu lari ke tempat lain, maka tiap saat kami buat SPPD fiktif,” tandas Erwin.
GAGAL
Sebelum menutup persidangan ini, Hakim Tewa sempat bertanya kepada kepada mantan bupati, dari kondisi yang ada ini, pelajaran apa yang di petik oleh Petrus selaku mantan bupati terhadap 6 ASN yang kini telah menjadi terdakwa.
Bagi Hakim Tewa, dia menilai Petrus Fatlolon gagal sebagai pemimpin di KKT yang daerah di tetapkan sebagai kabupaten dengan kemiskinan ekstrim.
“Bapak, bagi saya gagal. DPRD juga harus rubah mental. Semuanya akan terbuka ketika Sekda hadir,” ungkap Hakim Tewa.
Baca Juga:
Petrus Fatlolon Akhirnya Mangkir, Jaksa Ancam Jemput Paksa : https://sentralpolitik.com/petrus-fatlolon-akhirnya-mangkir-jaksa-ancam-jemput-paksa/
Diakhir persidangan, Hakim Tewa memutuskan sidang pekan depan Jumat 22 Desember 2023 dengan agenda pemeriksaan par terdakwa dan saksi mahkota. “Persiapkan diri,” pesannya menutup persidangan. (*)
Respon (2)