PROSPEK & PERMASALAHAN PEMILU DI INDONESIA (1)

Oleh : Bernardus Turlel/ Pemerhati Sosial Politik

Mengevaluasi prinsip-prinsip demokrasi ideal yang dianut oleh konstitusi Indonesia dibandingkan dengan praktik pemilu yang sebenarnya. Hal ini menjawab dua pertanyaan: “ Apakah praktik pemilihan umum di Indonesia menjunjung prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh konstitusi Indonesia?” Dan, “Prinsip demokrasi apa yang harus dipegang teguh oleh pemerintah Indonesia untuk memperdalam demokrasi di Indonesia?” 

Artikel ini berpendapat bahwa dimasukkannya pemilihan umum yang demokratis ke dalam konstitusi merupakan kontribusi substantif terhadap demokratisasi negara karena memberikan kesempatan kepada warga negara untuk menggunakan kebebasan dan hak pilih mereka.

Namun demikian, terdapat kekurangan dalam implementasi peraturan dan perundang-undangan yang dapat sepenuhnya mewujudkan visi konstitusi dan negara kurangnya komitmen politik elit politik terhadap prinsip dan nilai demokrasi.

Mendalamnya demokrasi di Indonesia mengharuskan pemerintah, lembaga-lembaga negara, dan warga negara untuk memandang Pemilu bukan hanya sebagai sarana untuk memperoleh kekuasaan politik, melainkan sebagai sarana demokrasi untuk menjalankan kedaulatan rakyat, membentuk wacana dan penalaran publik mengenai program-program politik, dan kebijakan, dan membuat keputusan rasional tentang kepemimpinan baru.

Penyelenggaraan Pemilu yang demokratis harus didasarkan pada asas kedaulatan sebagai prosedur, perlindungan hukum perseorangan, legalitas penyelenggaraan pemerintahan, dan pemisahan negara dan masyarakat.

PERKENALAN

Salah satu inovasi besar Indonesia dalam demokratisasi adalah penyelenggaraan Pemilu yang demokratis. Pasal 22E UUD Indonesia saat ini menyatakan bahwa “Pemilihan Umum diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” (Pasal 1). Yang dipilih adalah “anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). DPRD) [Bagian 2].

Pesertanya terdiri dari partai politik pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD (Pasal 3), dan perseorangan untuk pemilihan anggota DPD (Pasal 4). Dan, “ pemilihan umum diselenggarakan melalui pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri” (Pasal 5). Pasal-pasal di atas merupakan kontribusi substantif terhadap Pemilu karena memberikan kesempatan kepada warga negara untuk menggunakan hak pilihnya.

Sejak tahun 2004 hingga 2019, masyarakat Indonesia menjalankan otonomi politiknya melalui pemilihan umum langsung secara damai dan kompetitif. Pencapaian ini menegaskan “status Indonesia sebagai negara demokrasi elektoral” ( Aspinall dan Mietzner, 2019: 297) dan merupakan “salah satu pilar demokrasi di kawasan” ( Searight , 2019).

Meskipun demikian, pelaksanaan pemilihan umum langsung menunjukkan beberapa kelemahan dalam menjaga dan memajukan hak partisipasi politik dan otonomi warga negara. Beberapa intelektual bahkan menyaksikan bahwa demokrasi elektoral di Indonesia cenderung mengalami kemunduran (Mietzner, 2012). Hal ini ditandai dengan praktik politik yang memperburuk “kebebasan sipil dan supremasi hukum” (Warburton dan Aspinall, 2019: 263) dan “komitmen dangkal terhadap hak, kebebasan, check, and balances individu” ( Aspinall, dkk., 2020: 506).

Karakter-karakter ini menunjukkan “meningkatnya disonansi kognitif antara anggapan validitas demokrasi konstitusional dan apa yang sebenarnya terjadi dalam proses politik” (Habermas, 1998a:320-321). Faktanya, terdapat malpraktek yang dilakukan warga dan peserta Pemilu pada masa Pemilu, berupa politik uang, politisasi pimpinan militer, dan rekrutmen pegawai negeri sipil.

Malpraktek ini merupakan kemunduran bertahap dalam institusi demokrasi liberal dan prinsip-prinsip demokrasi dalam sistem pemilu untuk menghilangkan persaingan politik demi keuntungan politik pribadi atau kolektif ( Huq dan Ginsburg, 2018).

Artikel ini mengevaluasi prinsip-prinsip demokrasi ideal yang dianut oleh konstitusi Indonesia dibandingkan dengan praktik Pemilu yang sebenarnya. Pertanyaan yang diajukan adalah: Apakah praktik Pemilu di Indonesia sebenarnya menjunjung prinsip demokrasi yang dianut UUD NRI 1945?

Prinsip demokrasi apa yang harus dipatuhi oleh pemerintah Indonesia untuk memperdalam demokrasi di Indonesia?

Kerangka yang digunakan untuk mengukur karakter demokrasi dan potensi pemilu adalah teori hukum dan demokrasi Jürgen Habermas yang dituangkan dalam risalah monumentalnya Between Facts and Norms (1998a).

Tujuan utama artikel ini adalah menggunakan teori hukum dan demokrasi Habermasian sebagai paradigma baru untuk menganalisis kesenjangan antara norma konstitusi dan praktik pemilu yang sebenarnya di Indonesia.

Pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan ekspositif-kritis, dan penyajiannya. Bagian kedua menerapkan pendekatan ekspositif. Pendekatan tersebut memberikan informasi yang jelas tentang teori Habermas melalui penyelidikan terhadap beberapa sumber yang tersedia dari buku, jurnal, majalah, dan internet ( Hotari , 2004).

Bagian ketiga merupakan pendekatan kritis artikel ini. Hal ini memberikan analisis mendalam tentang prinsip-prinsip normatif dan praktik-praktik dunia nyata untuk menilai bagaimana praktik-praktik tersebut berjalan sejauh menyangkut prinsip-prinsip tersebut ( Dryzek , 1995).

Hal ini menyoroti kesenjangan antara ketentuan konstitusi Indonesia dan praktik nyata dalam mewujudkan demokrasi. Dan, bagian keempat memaparkan prinsip demokrasi Habermasian sebagai alternatif solusi pendalaman demokrasi di Indonesia .

PROSPEK DAN PERMASALAHAN PEMILU DI INDONESIA

Konstitusi adalah arahan untuk menetapkan kebijakan dan program sesuai dengan cita-cita dan tujuan yang tercantum dalam piagam tersebut. Aturan dan peraturan pelaksanaannya mungkin dirumuskan dengan baik, dapat diterapkan atau sesuai, dan bertujuan baik, namun keefektifan atau ketaatannya mungkin terhambat oleh praktik yang melanggar hukum atau diambil alih oleh kepentingan egois.

Berikut ini adalah kajian kritis terhadap implementasi norma konstitusi pemilu di Indonesia. Di dalamnya dijelaskan upaya pemerintah Indonesia untuk menerapkan norma konstitusi melalui peraturan perundang-undangan pemilu yang spesifik. Fokusnya pada prinsip, cakupan, dan peserta pemilu.

PRINSIP-PRINSIP PEMILU

Salah satu jalan utama untuk melaksanakan kedaulatan rakyat adalah dengan menyelenggarakan pemilihan umum secara langsung, bebas, adil dan adil “secara berkala berdasarkan hak pilih yang universal, setara dan rahasia” ( Goodwin-Gill, 2006: viii).

Ketentuan ini memastikan bahwa “semua pemilih dapat memilih wakilnya dalam kondisi kesetaraan, keterbukaan dan transparansi yang merangsang persaingan politik” (UNESCO, 1997).

Pokok-pokok pemilihan umum yang disebutkan di atas tampak dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, I. Umum, 3. Asas , untuk akal: (1) Langsung – Setiap warga negara dapat langsung hadir di tempat pemungutan suara tanpa perantara atau tanpa diwakili orang lain untuk memberikan suaranya kepada orang perseorangan atau partai; (2) Umum – Setiap warga negara yang memenuhi kualifikasi tertentu berhak memilih dan dipilih; (3) Bebas – Setiap warga negara bebas memilih tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun yang dapat mengganggu prinsip kebebasan. (4) Rahasia – Setiap pemilih dijamin kerahasiaan pilihannya. (5) Jujur – Setiap penyelenggara pemilu, aparatur pemerintah, peserta, pengawas, pemantau, dan pemilih harus jujur mentaati peraturan perundang-undangan; (6) Adil – Baik peserta maupun pemilih harus diperlakukan setara tanpa diskriminasi.

Prinsip-prinsip ini penting karena menjamin bahwa legitimasi pemimpin terpilih “ berasal dari suara mayoritas yang dicapai dalam Pemilu yang bebas, setara, dan rahasia” (Habermas, 1998a: 291). Prinsip-prinsip Pemilu tersebut di atas, sebagaimana dikemukakan oleh Khairul Fahmi (2010), menegaskan prinsip esensial bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memilih presiden dan wakilnya dalam pemilihan umum.

Penekanan pada persamaan hak setiap orang untuk memilih sangatlah penting karena, “hak untuk memilih, yang diartikan sebagai kebebasan positif, menjadi paradigma hak secara umum bukan hanya karena hak tersebut bersifat konstitutif bagi penentuan nasib sendiri secara politik namun karena strukturnya memungkinkan seseorang untuk memilih.

Untuk melihat bagaimana inklusi dalam komunitas yang anggotanya setara dihubungkan dengan hak individu untuk memberikan kontribusi secara otonom dan mengambil posisi sendiri” (Habermas, 1998a: 271). Prinsip-prinsip pemilu universal yang sama menegaskan prinsip prosedural yang menjamin “hak individu atas kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembentukan kemauan demokratis” (Habermas, 1998a: 169).

Oleh karena itu, Pemilu tidak boleh dilihat hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan, memilih pemimpin nasional tetapi juga sebagai prosedur untuk menghasilkan “opini publik yang kurang lebih terbentuk secara diskursif” (Habermas, 1998a: 487).

Ia berasal dari warga negara yang juga dapat menjadi landasan bagi para kandidat untuk menyusun agenda politiknya dan bagi pemerintah untuk merencanakan kebijakan dan programnya ( Fahmi , 2010: 135).

Untuk memastikan pelaksanaan Pemilu sesuai dengan arahan konstitusi, pemerintah mengeluarkan beberapa undang-undang pemilu yang menetapkan syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah larangan keterlibatan dalam partai politik dan kegiatan politik pada saat proses pemilu oleh anggota TNI, Polri, dan PNS ( Hartini , 2009: 262). Larangan hukum sangat eksplisit namun tidak selalu diikuti.

Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (2019) menjelaskan bahwa pada bulan Agustus 2018, satu tahun sebelum Pemilu, Presiden Joko Widodo mengarahkan aparat kepolisian dan militer untuk membantu pemerintah meningkatkan keberhasilannya. Sejak Maret 2019 hingga hari Pemilu, sebulan kemudian, kamp militer memasang poster bergambar Panglima TNI dan Kapolri yang menyerukan kepada seluruh warga untuk memilih dan tidak golput. Hal ini tidak wajar, setidaknya karena memobilisasi warga untuk memilih, “terutama, untuk membantu petahana, bukanlah bagian dari tugas pasukan militer dan polisi di negara-negara demokratis” ( Aspinall dan Mietzner, 2019: 304 ).

Salah satu kendala utama adalah “kepemimpinan senior militer” ( Hatz dan Robinson, 2005: 234) telah dipolitisasi sedemikian rupa sehingga mereka menjadi partisan. Hal ini tidak menguntungkan demokrasi karena “jika militer mengambil posisi partisan atau menjalankan loyalitas partisan, para pemilih mungkin berasumsi bahwa partai oposisi tidak akan mampu mengendalikan militer jika mereka terpilih…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar