PILKADA serentak yang digelar di seluruh wilayah Indonesia tak terkecuali Kabupaten Kepulauan Tanimbar, menampilkan banyak figur pemimpin yang visioner dan mapan.
Lalu bagaimana mantan kepala daerah terdahulu melihat sosok pemimpin masa depan untuk Negeri Duan Lolat ini?
Berikut wawancara wartawan SentralPolitik.com bersama Bitsael Silvester Temmar, mantan Bupati Maluku Tenggara Barat (MTB) dua periode 2007-2012 dan 2012-2017 yang dikemas secara ekslusif.
—-
SP: Bagaimana Pak Bitto melihat figur Calon Bupati yang saat ini maju berkontestasi pada Pilkada KKT? Dan mengapa dari 5 Paslon, pak Bitto menjatuhkan pilihan kepada 2 sosok anak muda Boy Uwuratuw dan Poli Lalamafu?
BST: Semua orang memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Seperti warga KKT pada umumnya, masing-masing orang harus memilih, harus memutuskan. Saya pada waktu itu (2017 & 2024) memutuskan untuk diri saya. Saya tidak pernah memutuskan untuk seseorang, karena saya tidak punya hak apapun pada waktu itu untuk memutuskan sesuatu kepada orang lain.
SP: Bagaimana Anda menanggapi tudingan terkait dukungan politik tahun 2017 silam dan dukungan politik di tahun 2024 ini? Yang menurut hemat publik, pilihan Anda tersebut akhirnya membawah kehancuran bagi Tanimbar sendiri?
BST: Keputusan saya berdasarkan alasan-alasan yang sangat objektif. Masyarakat kita ini adalah masyarakat yang plural. Masyarakat plural itu harus diwakili. Dan kategori agama di Tanimbar ini yang menjadi variabel utama.
Karena di Tanimbar ini mayoritas kelompok agamanya Kristen Protestan dan Katolik. Maka jika calon bupatinya Katolik, wakilnya Protestan atau sebaliknya. Dan saya memilih berdasarkan representatif dua kelompok itu. Saya memutuskan untuk diri saya, bukan kepada yang lain.
Tahun 2017, ketika saya memilih dan memutuskan, saya melihat bahwa pilihan wakil saat itu objektif dari pilihan-pilihan wakil yang lain. Saya kemudian memilih berdasarkan keputusan saya. Bahwa selama 5 tahun itu ada praktek yang menyimpang, bukan salah saya.
Salahnya ialah mereka yang pada awalnya menjadi lawan dirangkul dan mereka yang menjadi kawan itu disingkirkan. Nah lawan yang kemudian menjadi kawan itu yang kemudian berbagi kenikmatan. Setelah mereka berbagi kenikmatan loh kok di ujung saya yang disalahkan? Harusnya mereka yang terlibat menikmati semua hal buruk itu harus di pertanyakan.
Politisi-politisi yang pada awalnya melawan tapi dirangkul. Diberikan kuasa dan mereka menikmati kuasa itu secara ramai-ramai. Kok sesudah itu saya yang di salahkan? Padahal waktu itu saya putuskan untuk diri saya. Saya kira itu poinnya.
SP: Dari kaca mata Anda, kondisi Tanimbar saat ini seperti apa?
BST : Hari ini saya datang dalam keprihatinan oleh karena Tanimbar ‘babak belur’. Semua parameter objektif di daerah ini benar-benar buruk. Mulai dari pemerintahan itu buruk. Coba lihat dari atas hingga ke desa-desa, semuanya buruk. Tata kelola keuangan itu buruk. Pelayanan dasar yakni pendidikan dan kesehatan buruk. Income perkapita masyarakat juga buruk. Termasuk didalamnya pelayanan publik buruk. Coba ke Pasar Omele, apakah pasar itu layak bagi manusia ataukah tidak. Sangat buruk situasinya
Dengan kondisi yang babak belur inilah, tiap-tiap orang harus memutuskan. Termasuk diri saya. Saya tinggal di Ambon tapi kewargaan saya tetap pertahankan di Tanimbar. Saya tetap pemegang KTP Tanimbar. Jadi setiap even politik, saya harus kembali ke negeri saya untuk saya menentukan arah masa depan negeri ini.
SP: Mengapa harus pilihannya ke Boy-Poli?
Sebelum saya tiba di Tanimbar, saya kan cuma didatangi oleh satu Paslon, Boy-Poli. Awalnya saya tolak.. Tetapi setelah saya mendengar pikiran dan gagasan mereka, dan saya amati secara cermat, dua anak muda ini saya putuskan untuk dukung mereka. Dan saya tidak salah. Ada dua hal yang saya jumpai dalam diri mereka.
SP: Dua hal apa yang anda jumpai dari Paslon Boy-Poli?
BST : Pertama adalah kerendahan hati. Secara kultural, orang Tanimbar itu rendah hati. Kalau Anda ke Lauran, Anda tidak perlu punya saudara disana, yang penting Anda orang Tanimbar. Ketika Anda haus, Anda bisa naik kelapa. Minum satu buah boleh, tetapi kalau kerja kopra, itu baru masalah. Itulah Tanimbar.
Tanimbar yang penuh kekeluargaan dan mengurus Tanimbar dengan kehidupan seperti sekarang ini, hanya orang yang rendah hatilah yang dapat mengurus Tanimbar dengan hatinya.
Diluar itu tidak akan mungkin. Saya temukan disini sementara masyarakat itu berada dalam situasi sulit… Tetapi kok ada yang berpesta pora. Beda dengan pasangan yang saya putuskan untuk saya pilih.
Kedua, mengurus daerah ini untuk orang yang terpelajar. Bukan orang yang berijazah. Ada warga Tanimbar yang sampai S3, S2, S1, tapi belum tentu dia terpelajar. Namun sebaliknya ada orang Tanimbar yang hanya tamatan sekolah rakyat bahkan tak tamat sekolah dasar tetapi mereka terpelajar.
Tengok saja ibu-ibu penenun. SD mungkin tidak tamat, tapi bagaimana mereka merangkai kain tenun itu luar biasa. Dan itu terpelajar. Jadi keterpelajaran tidak didasarkan pada ijazah. Keterpelajaran didasarkan pada kemampuan untuk menangkap realitas dan mengartikulasi realitas itu menjadi kebijakan. Saya menemukan itu pada diri dokter Boy dan Poli.
SP: Bisa anda jelaskan tentang rekam jejak kedua sosok muda Boy-Poli?
BST : Dokter Boy atau yang bernama lengkap Julianus Aboyaman Uwuratuw, waktu saya menjadi bupati, dia pernah menjadi dokter spesialis yang di-kontrak-an selama satu tahun, enam bulan di Tanimbar. Selama pengabdiannya sebagai dokter kontrak dengan segala keterbatasan yang ada, nyaris seorang Dokter Boy tidak pernah berkata apapun, atau mengeluh apapun. Tetapi dia terus melayani sampai selesai masa kontraknya. Dan akhirnya dia kembali melanjutkan studinya dan kini telah datang kembali di Tanimbar.
Sosok Polikarpus Lalamafu, telah mendedikasikan dirinya untuk perguruan tinggi. Poli jatuh bangun dengan Yayasan Lelemuku. Tadinya hanya sebuah sekolah tinggi, sekarang sudah menjadi Perguruan Tinggi. Itu bentuk pelayanan paling nyata bagi masyarakat Tanimbar.
Jadi kalau pasangan ini terpilih, saya percaya urusan kesehatan dan pendidikan yang menjadi persoalan dasar di Tanah Leluhur Duan Lolat ini, seketika itu juga bisa terpecahkan. Saya percaya dua anak muda ini bisa untuk itu.
Dan mereka punya satu yang saya puji adalah mereka meminta saya untuk dampingi mereka selama lima tahun pemerintahan. Dan saya bilang, saya akan dampingi. Tetapi saya ingatkan bahwa saya tidak boleh dibayar gajinya. Mengapa? Karena ini negeri kita. Saya membuat keputusan politik, karena saya cinta negeri ini, karena itu saya datang.
SP: Apa yang Anda sarankan bagi masyarakat Tanimbar di Pilkada KKT ini?
BST : Saya datang ini juga tidak punya efek elektroral apapun. Saya rakyat biasa kok. Tetapi saya harus menjelaskan sesuatu yang menurut saya baik kepada masyarakat Tanimbar. Silahkan masyarakat memilih. Mudah-mudahan yang saya sampaikan itu menjadi pertimbangan setiap orang. Sebab ibarat ke pasar membeli ikan, jangan sampai pilih ikan busuk. Karena ikan busuk itu akan membawa kehancuran bagi kita yang membeli dan keluarga yang mengkonsumsinya. Pilih ikan yang benar-benar segar. Saya kira itu poinnya.
SP: Bagaimana anda melihat tentang politik uang yang saat ini melanda Tanimbar?
BST: Saya tidak pernah dengar ada khotbah yang mengutuki politik uang. Ada kalimat yang katakan begini ‘tidak bersikap itu juga sikap’. Jadi kalau tidak ada respon terhadap politik uang, jangan-janhan mereka setuju dengan politik uang?
Saatnya kaum intelektual, para rohaniawan termasuk pers harus beritakan dan nyatakan bahwa politik uang itu sangat destruktif (Destruktif berarti bersifat merusak, memusnahkan, atau menghancurkan. Perilaku destruktif adalah perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain).
Ada seorang intelektual Katolik di Indonesia yang menulis tentang korupsi. Dia menjelaskan tentang bahaya politik uang itu sangat luar biasa. Kok tiba-tiba para calon ini jadi kaya raya? Jalan bagi-bagi uang. Itu buruk. Sudah saatnya kita bersihkan negeri ini dengan cara memberantas praktik politik uang.
Tadi saya sudah bilang, setiap pesawat yang keluar, pasti ada calon yang pergi keluar Tanimbar. Saya tidak tahu mereka ke sana untuk jemput uang? Padahal hakekatnya, mereka jadi kaki tangan bagi kekuatan-kekuatan pemodal diluar sana. Bagaimana nasib Tanimbar nanti.
Baca Juga:
Sehari Bersama Benny Laos di Kota Ambon; https://sentralpolitik.com/sehari-bersama-benny-laos-di-kota-ambon/
Siapapun terpilih, kita harus menghormatinya. Kalau keterpilihannya benar-benar keterpilihan yang elegan… Tetapi kalau sebaliknya? Menang dengan cara politik uang, beli suara rakyat, bayar penyelenggara, menang dengan cara intimidasi atau bentuk manipulasi yang lain, kita wajib persoalkan itu. Gugat hingga ke MK. (*)