Tau Tanah Dati Lenyap? Ini adalah tanah adat yang sudah ‘tak bertuan’. Kebanyakan karena pemilik Dati pergi meninggalkan tanahnya, atau karena hak dan kewajiban tidak bisa diemban oleh seorang Kepala Dati.
Nah, status tanah Dati Lenyap biasa kembali ke pangkuan pemangku Negeri Adat. ‘Pemilik’ lenyap bukan masalahnya ikut lenyap. Kadang malah menyisahkan masalah. Seperti di Negeri Urimessing Kota Ambon. Begini kisahnya.
–
Di Jaman Kolonial, banyak anak adat yang keluar meninggalkan negeri, pergi berperang. Sebagian karena alasan merantau dan tak kembali, atau pun tak punya keturunan.
Lebih tragis lagi ada yang meninggalkan negeri, karena kecewa dengan putusan adat di tanah tumpah darahnya.
Di Negeri Urimessing ada satu Dati lenyap, meninggalkan 20 tanah Dati. Tuan Dati itu bermarga Watemena.
Adalah Opa Estafanus Watemena. Opa ini hidup semasa Kapitan Pattimura di Pulau Saparua.
Di tahun 1814, masih di jaman Kolonial Belanda, nama Watemena tercatat sebagai Kepala Dati, dan mendapat kepercayaan mengelola 20 potong tanah Dati.
Sesuai Register Dati tahun 1814, 20 Dati di Negeri Urimessing itu yakni Dati Appanauw, Alinow, Waspama-a, Enularia, Unielah, Topmonij, Weijwaru dan Batupintu serta Apanawanaun.
Selanjutnya, Dati Eung, Kokimera, Kumbauwan, Kate-Kate, BatuSombajan, Loleu-a, Kudamati, Intjipuan, Batu Bulan, Ullah dan Dati Talagaradja.
Tahun 1850, keturunan Opa Estefanus pergi meninggalkan Negeri Urimessing.
Mereka disebut BORGOR atau BURGER. Sesuai hukum adat, otomatis Tanah Dati itu hilang alias Dati Lenyap.
DATI URIMESSING
Sedari doeloe, Negeri Urimessing memiliki 192 tanah Dati.
Philipus Steven Tisera, Raja Pertama Urimessing tahun 1803 menguasai 29 potong tanah Dati, berikutnya Jacob Watemena 14 tanah Dati dan Zadrak Watemena (11).
Selanjutnya Estafanus Watemena (20), Cornelis Samalelaway (14), Paulus Matitasery, Amos Salakay (15 tanah Dati) dan Dati Negeri sebanyak 65 potong tanah.
Oiya, ada 6 marga asli Anak Adat yang berasal dari Negeri Urimessing. Keenam marga ini masing-masing Tisera, Samalelaway, Salakay, Kombasila, Watemena dan Matitaserij (Matitakapa).
Sayang, dari 6 marga Anak Adat tadi, tiga marga kemudian lenyap yakni Kombasila, Watemena dan Matitaserij (Matitakapa).
Mereka disebut anak Adat Urimessing. Selain marga itu, ada marga-marga lain yang masuk sebagai Anak Negeri Urimessing.
CHRISTIAN WATTIMENA
Kembali ke jaman kolonial, tahun 1923, datang Christian Wattimena menghadap Raja Negeri Soya, Semuel J Rehatta dan pemangku adat Negeri Urimessing.
Ia mengaku keturunan Opa Estafanus Watemena, dan mengajukan diri menjadi Anak Negeri Urimessing. Tentu secara lisan.
Mengapa ke Raja Soya? Karena pada tahun-tahun itu, seorang Raja Negeri Soya ditunjuk pemerintah kolonial memerintah Negeri Urimessing (PELASCHAP).
Raja Soya setuju dan diamini Saniri Besar Urimessing. Christian Wattimena kemudian diberikan hak menjaga tiga potong tanah Dati dan menempati sebidang tanah untuk dirinya di Dati Lolau-a, peninggalan Opa Estefanus tadi.
Selain Tanah Dati Lolau-a, Christian juga menjaga dua tanah yakni Dati Alinow dan Apanawanaun.
Dengan syarat, hanya mendirikan rumah dan kelangsungan hidup. Sedangkan anaknya Josias Jonias Wattimena, berdiam diri di Dati Kudamati.
DIPERKUAT URIMESSING
Belakangan di tahun 1977, tepatnya 2 Juli 1977, Raja Urimessing di era itu, Hein Johanis Tisera menerbitkan Surat Keterangan.
Ikut meneken surat itu, Kepala Soa Tua Seri, Saniri Tua, Kepala Saniri Bidang Dati dan dua anggota Saniri Bidang Dati.
Dalam surat itu juga menerangkan kalau sedari tahun 1850 sampai 1975 tidak ada marga WATEMENA, tapi yang ada umumnya bermarga WATTIMENA di Urimessing.
Selanjutnya Christian Wattimena diberi titah menjaga 3 Dati. Sementara sisa 17 potong Dati Lenyap peninggalan opa Estefanus diambil Negeri Urimessing sebagai DATI JABATAN.
Artinya bisa dilelang setiap tahun, atau diatur sesuai rencana dan program, demi kepentingan negeri/ masyarakat Urimessing.
BEDA WATEMENA dan WATTIMENA
Tiga bulan menjabat Dati atas tiga potong tanah, rupa-rupanya Raja dan Saniri Besar Urimessing sadar kalau ada perbedaan mendasar pada marga Watemena dan Wattimena.
20 potong Dati Lenyap itu peninggalan Estefanus Watemena, sementara Pemangku adat Urimessing sudah terlanjur menyerahkan kepada Christian Wattimena.
Rapat Saniri Besar kembali berlangsung. Sepakat. Christian Wattimena dilengserkan dari jabatan Kepala Dati atas tiga potong tanah.
Raja bersama Kepala Soa Tua, Saniri Tua, Ketua Bidang Dati, Anggota dan mantan Kepala Soa Tanah mengeluarkan Surat Pembatalan atas surat sebelumnya.
Mereka juga mengaku telah keliru mengeluarkan Surat Keterangan kepada Christian Wattimena.
‘’Pernah terjadi kekeliruan oleh pejabat-pejabat sebelumnya atas surat untuk Christian Wattimena dan silsilah anak, dalam hal menunjuk sebagai kepala Dati dari almarhum Estefanus Watemena… Tidak ada persamaan dalam hal kata yang terdapat nama belakang/ marga,’’ begitu bunyi surat pembatalan itu.
‘’Dengan demikian Josias Jonias Wattimena dan orang tua-tuanya yang bermarga Wattimena (mengacu pada Christian Wattimena), bukan keturunan Estafanus Wattimena. Demikian Surat Pembatalan ini,’’ kata Raja Hein Tisera dan Saniri Besar Negeri Urimessing dalam surat pembatalan itu.
Surat itu tertanggal 1 Oktober 1977. Camat Pulau Ambon saat itu, Drs A Samad Adam ikut mentekennya.
Oiya, saat itu Pulau Ambon masih dibawa kendali Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah.
Masalah Wattimena selesai? Selesai sih untuk tiga potong Dati tadi. Tapi masalah muncul di Dati lainnya.
Tercatat ada keluarga Wattimena yang menggugat sebidang tanah di Dusun Kate-kate. Di sini Tony Kusdianto mendapat gugatan dari Nus Wattimena. Ia menggugat Raja Johanis Tisera yang melepas tanah kepada Kusdianto.
Gugatan bergulir di Pengadilan. Tiba-tiba datang keluarga Alfons sebagai penggugat intervensi. Gugatan malah bergulir sampai di MA.
Sayang, Nus Wattimena dan Tisera yang tidak fokus pada perkara, akhirnya marga Alfons memenangkan perkara ini.
Baca Juga:
Hikayat Pangeran Urimessing Melawab Walikota: https://sentralpolitik.com/hikayat-pengeran-urimessing-melawan-walikota/
Infonya saat itu Nus Wattimena tengah berdiam diri di Kota Menado, sementara Johanis Tisera lagi di Jakarta, fokus pada masalah tanah RSUD dr Haulussy Ambon.
“Tanah Lembah kandungan air, kayu bengkak titian kera”. Tau artinya? Cari di Google… bersambung#
#SentralSepekan
Respon (1)