“Kita mungkin tidak hidup di masa lalu, tapi masa lalu hidup di dalam diri kita.”
—
DARI kata-kata bijak Samuel Pisar ini, saya pun mencoba menulis suatu ringkasan perjalanan di mana sudah 25 tahun usia kabupaten Kepulauan Tanimbar bila akan dirayakan pada tanggal 4 Oktober 2024, tahun ini.
Sebenarnya bingung memulainya dari mana karena memang usia kabupaten ini terbilang masih sangat muda, namun perjalanan setiap dekade hingga hari ini menaruh banyak peristiwa, bahkan pernah terasa mencekam. Ini tercatat sebagai suatu pertarungan yang tak ada habisnya. Bila diurutkan lebih panjang bisa melahirkan suatu tulisan dengan banyak halaman.
Seperti pernyataan Fidel Castro, “Sebuah revolusi bukanlah taman mawar. Sebuah revolusi adalah pertarungan sampai mati antara masa depan dan masa lalu,” maka tak kuasa, saya memberi judul pada tulisan ini untuk mengurai perjalanan panjang yang dideskripsikan singkat dan sederhana dan tentunya tak bisa dipisahkan dari peristiwa-peristiwa yang tidak terekam dalam sejarah.
Sama seperti yang sudah saya tulis sebelumnya; ‘Tanimbar, Dari Waktu Ke Waktu’ (Sumber informasi dalam rangkuman sejarah) yang memuat sumber cerita para tokoh tentang cikal bakal pemukiman di Somlaki yang berganti pusat aktivitas perdagangan dari sebelumnya di Onjout pulau Selaru, hingga pembentukan ‘onderaffdeling’ pulau-pulau Tanimbar di Somlaki oleh pemerintahan Belanda.
GELADAK KAPAL
Mengenal siapa Cayetanus Futwembun; seorang guru, tokoh publik dan Ketua Partai Katolik yang kiprahnya memengaruhi situasi politik pasca kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, yang turut membawanya pada perundingan-perundingan politik setelah Dewan Maluku Selatan (DMS) dibubarkan pemerintah karena adanya gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950. Ini menjadi babak baru dibentuknya daerah tingkat II Maluku Tenggara.
Melalui perdebatan dan pergolakan di geladak KM. Kasimbar bersama Gubernur Maluku Mr. J. J. Latuharhary, tahun 1951, akhirnya ditetapkan Tual sebagai ibu kota kabupaten Maluku Tenggara.
Kegagalan perjuangan menempatkan Somlaki sebagai ibu kota daerah tingkat II Maluku Tenggara yang dilakukan tokoh sentral Cayetanus Futwembun, dkk., mengakhiri rumitnya situasi politik di masa itu.
Namun setelah Pemilu pertama tahun 1955 serta perubahan sistem ketata negaraan Indonesia menyebabkan sosok asal Olilit yang dekat dengan misi Katolik di Tanimbar di tahun 1940-an, Cayetanus Futwembun, menjadi Ketua DPRD GR tingkat II Maluku Tenggara yang berkedudukan di Tual. Kedudukannya dinilai sebagai suatu kesempatan agar bisa memperjuangkan Tanimbar kelak sebagai daerah otonom baru yang kemudian direalisasikan melalui pernyataan deklaratif sekelompok tokoh politik partai Katolik dan PARKINDO pimpinan S. J. Oratmangun, dkk., pada tanggal 17 Agustus 1962 di Somlaki.
Sepenggal kisah ini menyirat begitu banyak orang yang telah pergi, bahkan tak sedikit dari mereka yang meninggalkan pengaruh dalam sebuah sejarah. Meninggalkan bekas-bekas tetesan keringat perjuangan, prestasi, dedikasi serta tak luput luka-luka pemerintahan, politik, serta sisi kelam sosialnya di tengah masyarakat Tanimbar. Membuat dinasti, menciptakan budaya oligarki kekuasaan, dan bertarung sampai mati, sampai hari ini.
BABAK BARU
Banyak orang yang pergi, tetapi banyak orang pun yang datang; datang di Tanimbar sebagai pejuang baru, pelaku ekonom, datang sebagai penerus estafet, sebagai pahlawan bahkan sebagai pahlawan dengan modus berganda, dan tak lupa bila ada yang datang sebagai penumpang gelap yang mencekam diiringi malapetaka bagi bumi Tanimbar.
Semuanya tercatat dalam babak masa lalu, sebagai pelajaran berarti, pertarungan tanpa jedah dan tentu tidak dimaknai sebagai sebuah penjara sosial.
Jatuh bangun kabupaten Kepulauan Tanimbar dimulai dari lahirnya undang-undang nomor 46 tahun 1999 tentang pembentukan provinsi Maluku Utara, pembentukan kabupaten Buru, dan pembentukan kabupaten Maluku Tenggara Barat, yang ditanda tangani presiden B. J. Habibie, disahkan dan diundangkan pada tanggal 4 Oktober 1999 serta diresmikannya kabupaten Maluku Tenggara Barat pada tanggal 6 Desember 1999.
Ini menjadi sejarah baru permulaan penyelenggaraan pemerintahan yang diperjuangkan secara terstruktur, di Somlaki, di Ambon dan di Jakarta.
Keberhasilan perjuangan itu dibuktikan selain lahirnya undang-undang, ditunjuklah Drs. Yappi Sahetapy sebagai penjabat Bupati oleh Gubernur Maluku Ir. M. Saleh Latuconsina dan hingga pengisian keanggotaan DPRD dengan jumlah 25 kursi.
Melalui pemilihan Bupati/Wakil Bupati oleh DPRD setempat, Drs. S. J. Oratmangun dan Lukas Ekliopas Uwuratuw memimpin periode ini hingga tahun 2006. Gejolak sosial yang timbul di awal pemerintahan ini cukup tinggi hingga kemudian menyeret banyak pihak berurusan dengan hukum karena korupsi.
Padahal Negara ini sedang berproses panjang terhadap usaha memberantas korupsi melalui undang-undang serta pembentukan lembaga anti rasuah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai bagian dari amanat reformasi.
Belum lagi konstelasi politik saling dukung mendukung, terbentuknya koalisi-koalisi permanen karena kepentingan tokoh dan kelompok yang ikut merusak tatanan adat dan budaya berlandaskan hukum duan-lolat.
Situasi ini terus terjadi hingga Pilkada tahun 2006 yang memenangkan calon Bupati Drs. Bitzael S. Temmar dan wakilnya Drs. Barnabas N. Orno, di mana permasalahan-permasalahan sosial, politik, budaya serta isu-isu korupsi yang semakin terang dan turut membawa malapetaka bagi Tanimbar selain di masa ini peletakan dasar pembangunan sebelumnya mulai diisi dengan pembangunan di berbagai bidang.
Banyak aksi unjuk rasa digelar kelompok-kelompok sosial, LSM, gabungan aktivis yang mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah mulai dari persoalan hutan Tanimbar hingga laporan-laporan dugaan korupsi yang menghantui para pejabat pemerintah dan terjadi dari waktu ke waktu.
Sejak itu sampai pelaksanaan Pilkada tahun 2011 yang hasilnya menetapkan Bupati petahana Drs. Bitzael S. Temmar dan wakilnya Petrus P. Wermbinan, SH., menjadi pemimpin periode 2012-2017. Dan Pilkada 2017 yang melahirkan pemimpin baru Petrus Fatlolon, SH., MH., dan Agustinus Utuwaly, S.Sos., sebagai Bupati/Wakil Bupati hingga mengakhiri periodenya pada bulan Mei 2022.
Akhir kepemimpinan ini meninggalkan permasalahan ketimpangan sosial ekonomi, politik yang kompleks, tumpukan laporan dugaan korupsi di meja aparat penegak hukum serta tokoh-tokoh penting birokrasi yang telah mendekam dibalik terali besi.
Kepemimpinan di periode tuntas melakukan perubahan nama kabupaten Maluku Tenggara Barat menjadi nama kabupaten Kepulauan Tanimbar yang sudah diidam-idamkan banyak pihak.
PENJARA SOSIAL
25 tahun usia berdirinya kabupaten ini. Seolah kita kembali kepada jati diri sebagai kelompok etnis yang beradab dan beradat di mana landasan juang kita adalah hukum duan lolat.
Namun tak terasa ‘bak’ sebuah pelajaran berarti dari masa lalu yang pahit dan getir, yang kerasan dan berbuah manis, patut disebutkan sebagai suatu pelajaran bukan penjara-an, suatu pertarungan sampai mati.
Baca Juga:
Refleksi 20 Tahun Kepemimpinan di Tanimbar, antara Kebaikan dan Keburukan; https://sentralpolitik.com/refleksi-20-tahun-kepemimpinan-di-tanimbar-antara-kebaikan-dan-keburukan/
Belajar dari pengalaman masa lalu dengan dinamikanya yang berbeda di setiap dekade perjuangan untuk meraih pelajaran berarti dengan tidak menyimpulkannya sebagai bagian dari penjara sosial bagi generasi sekarang dan akan datang. (*)
Respon (1)