AMBON, SentralPolitik.com _ Ini kronoligis Pertokoan (Ruko) Mardika yang belum berujung sampai saat ini.
—
Forum Komunikasi Pengusaha Mardika (FKPM) Msutari menjelaskan, pada tahun 1987, PT. BUMI PERKASA TIMUR (BPT), sebagai developer yang membangun Ruko Mardika menawarkan penjualan Ruko dengan diterbitkan SHGB.
Tahun 1987 itu pula, orang tua Msutari membeli ruko tersebut melalui developer PT.BPT. Pihaknya kemudian mengantongi surat jual beli di bawah tangan, atas kepemilikan bangunan/ kantor oleh developer PT. BPT.
“Setelah pembayaran lunas atas pembelian ruko Mardika, pemilik ruko dibuatkan Akta Jual Beli sesuai janji PT. BPT di hadapan notaris sehingga terbitlah Sertifikat HGB yang resmi oleh BPN saat itu,” katanya Selasa (9/1/2024).
Setelah 30 Tahun kemudian yaitu pada tahun 2017, ketika pemilik ruko hendak memperbaharui SHGB, pemilik ruko diberikan Surat Rekomendasi Perpanjangan SHGB oleh bapak Gubernur Said Assagaf sebagai Gubernur Maluku saat itu.
Berdasar surat rekomendasi itu dapat melakukan perpanjangan SHGB di BPN.
Terdapat 50 SHGB yang berhasil diperpanjang dari 260 ruko yang diperpanjang oleh BPN.
Kata Msutari, pada pertengahan tahun 2018 Gubernur yang baru dilantik, atas permintaannya, pihak PN diminta untuk menghentikan proses perpanjangan SHGB ruko Pertokoan Mardika.
Sedangkan SHGB yang sedang dalam berproses perpanjangan dan yang belum melakukan proses perpanjangan tidak dapat melanjutkan proses perpanjangan tersebut.
AKAR MASALAH
Walaupun sudah memiliki surat rekomendasi perpanjangan dari Gubernur sebelumnya. Disinilah akar masalah antara Pemilik Ruko dengan Pemprov muncul.
“Kami beberapa kali meminta dan melakukan mediasi dengan Pemprov Maluku semenjak 2017 hingga akhir 2019. Akan tapi Pemprov tetap pada pendirian mereka bahwa Ruko Mardika adalah milik Pemprov. Sehingga, pemilik ruko yang mempunyai AJB dan SHGB diwajibkan membayar kontribusi,” ingatnya.
Kemudian para pemilik ruko diberikan solusi dengan membayar terlebih dahulu ke kas daerah sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan oleh Pemprov saat itu berkisar antara 14-26 juta.
Pemilik ruko diberi kemudahan pembayaran per tahun atau per 10 tahun.
Pemilik ruko dijanjikan akan diberikan surat rekomendasi perpanjangan SHGB yang baru selama 10 Tahun di BPN. Pada saat itu terdapat beberapa Pemilik Ruko yang mengikuti solusi tersebut.
Tapi saat hendak membayar, pembayar tidak diberikan surat perjanjian yang seharusnya dibaca terlebih dahulu sebelum ditandatangani oleh pembayar.
Setelah beberapa pemilik ruko melakukan pembayaran, pihak Pemprov memberikan surat perjanjian untuk ditandatangani oleh pemilik ruko, dimana isi perjanjian tersebut akan menyerahkan ruko miliknya kepada Pemprov.
“Atas dasar kejadian tersebut menyebabkan pemilik ruko yang lain menolak solusi yang ditawarkan Pemprov sebelumnya,” jelasnya.
Dijelaskan, perlu diketahui bahwa pemilik ruko yang telah melakukan pembayaran serta menandatangani surat dari pemprov dijanjikan akan diberikan perpanjangan 20 tahun + 10 tahun sesuai dengan rekomendasi perpanjangan SHGB diberikan kepada para pembayar.
Akan tetapi pada kenyataannya sudah ada sekitar 24 ruko yang membayar ke Pemprov, namun sampai sekarang tidak bisa memperpanjang SHGB mereka di BPN.
“Sampai saat kronologis ini dibuat belum ada yang mendapatkan perpanjangan dari pihak BPN,” katanya.
GUGAT PEMPROV
Pemilik ruko tetap melakukan mediasi dengan Pemprov, tapi Pemprov masih bersikeras bahwa bangunan ruko milik Pemprov. Pada tanggal 5 Maret 2021, para pemilik ruko mengajukan gugatan atas keputusan Pemprov tersebut.
Pihak pemilik ruko merasa memiliki hak untuk memperpanjang SHGB berdasarkan PP no.40 tahun 1996 Tentang Hak Guna, Usaha Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah serta PP No.18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Dimana setelah 30 tahun maka SHGB dapat diperpanjang 20 tahun dan bisa diperbaharui 30 tahun lagi.
“Saat di persidangan Pengadilan Negeri Ambon, terungkap pada tahun 1987 Pemprov mengadakan kerjasama dengan PT. BPT, yang mana Pemprov memberikan hak kepada PT. BPT untuk menjual secara SHGB dihadapan notaris dengan diberikan AJB bukan akta sewa,” terangnya.
Pada saat persidangan berlangsung, terungkap pula bahwa pada tahun 1988 pihak Pemprov dan PT. BPT membuat adendum terhadap perjanjian awal.
Adendum tersebut menyatakan bahwa PT. BPT wajib menyerahkan segala sesuatu termasuk ruko kepada Pemprov Maluku.
Yang menjadi permasalahan, ternyata adendum tersebut tidak pernah diberitahukan kepada para pembeli/ pemilik selama 30 tahun, dimana Pemprov akan mengambil kembali ruko yang telah dijual oleh PT. BPT setelah masa 30 tahun perjanjian mereka.
Selama gugatan pemilik ruko di Pengadilan Negeri Ambon, untuk pertama kalinya pemilik ruko mendapatkan salinan surat perjanjian dan adendum yang dimaksud, dan setelah dipelajari surat perjanjian tersebut tidak ditandatangani oleh Mendagri yang menjabat saat itu sebagai tanda persetujuan.
Pemilik ruko beralasan bahwa apabila pemilik ruko hanya sebagai penyewa, maka SHGB tersebut tidak mempunyai nilai agunan di bank, dimana nilai agunan tersebut dapat digunakan sebagai peruntukkan modal bisnis.
“Proses hukum di PN Ambon, mengabulkan seluruh permintaan pemilik ruko Mardika. Pemprov melakukan langkah banding di Pengadilan Tinggi dan dinyatakan Perjanjian PT. BPT dan Pemprov sah adanya,” ujarnya.
Pada tahun 2022, para pemilik ruko melakukan kasasi dengan Nomor Registrasi 2955L/Pdt/22, dimana secara hukum status ruko di Pertokoan Mardika Ambon dalam posisi status quo.
Menurutnya, tetapi saat berproses hukum, pihak Pemprov melakukan Proses Lelang Pemanfaatan Ruko Pertokoan Mardika secara diam-diam kepada pihak ketiga, dimana pada lelang tersebut dimenangkan oleh peserta Tunggal yaitu PT. BPT.
“Pada Juli 2022, dibuatlah perjanjian kerjasama antara Pemprov dan PT. BPT sebagai pengelola pemanfaatan di notaris (Akta Perjanjian Kerjasama Pemanfaatan Ruko Mardika ). Dengan adanya Akta Perjanjian Notaris Tersebut PT. BPT diberikan kewenangan penuh untuk melakukan penagihan serta menentukan besaran biaya kontribusi terhadap para pemilik Ruko Mardika,’’katanya.
PENAGIHAN
Selanjutnya, berdasarkan akta perjanjian tersebut, PT. BPT melakukan penagihan sebesar 4-5 kali lipat dari nilai yang telah ditetapkan oleh Pemprov sebelumnya.
Nilai tersebut berkisar dari 0,8 – 1,5 milyar untuk pembayaran 15 tahun dan diwajibkan melakukan pembayaran sekaligus (tanpa dicicil).
Skema pembayaran yang timbul akibat perjanjian tersebut yaitu pembayaran tahun 2017-2021 dilakukan ke Pemprov Maluku mengikuti harga yang ditetapkan Pemprov Maluku sebelumnya.
Sementara pembayaran tahun 2022-2037 dilakukan ke PT. BPT mengikuti harga yang ditetapkan oleh PT. BPT.
Kata dia, dalam Akta Perjanjian Notaris, PT. BPT diwajibkan membayar kepada pemerintah secara angsuran yang jika dijumlahkan sekitar 58 Milyar.
Sementara perlu diketahui bahwa potensi penerimaan yang diperoleh PT. BPT apabila didasarkan pada perhitungan yang mereka buat diperkirakan mencapai 200 – 250 Milyar untuk 256 ruko.
“Sehingga terkesan pemerintah sedang berbisnis dengan rakyat melalui pihak ketiga,” katanya.
KEPANIKAN
Perlu diketahui bahwa proses penentuan nilai kontribusi oleh PT. BPT tersebut tidak melibatkan pihak KPKNL sebagai tim aprasial.
“Akibatnya terjadilah kepanikan diantara pemilik ruko Mardika, karena dari pihak PT. BPT dan oknum aparat sering mengunjungi ruko per ruko untuk menagih dengan cara mengitimidasi para pemilik ruko untuk segera membayar kontribusi tanah dan bangunan,” katanya.
GEMBOK DIAM-DIAM
Pada saat penagihan, PT. BPT melakukan dengan cara intimidasi dan tidak terpuji yaitu dengan melakukan penggembokan ruko secara diam-diam di malam hari, sehingga beberapa pemilik ruko terkunci di dalam ruko mereka.
Pada beberapa kejadian penggembokan dilaksanakan pada sore hari, dimana aktivitas perdagangan sedang berlangsung.
Kemudian para pemilik ruko mengadu kepada DPRD yang kemudian dibentuklah PANSUS PASAR MARDIKA yang mana ditemukan bahwa proses lelang yang dilakukan oleh Pemprov dan PT. BPT melanggar aturan-aturan lelang yang berlaku.
Baca Juga:
Geruduk Kantor Gubernur, HMI Sebut ada Penggelapan Anggaran Oleh PT BPT : https://sentralpolitik.com/geruduk-kantor-gubernur-hmi-sebut-ada-penggelapan-anggaran-oleh-pt-bpt/
“Karena merasa dirugikan akibat adanya perjanjian tersebut, maka para pemilik ruko melakukan gugatan terhadap perjanjian kerjasama tersebut,” terangnya. (*)
Respon (2)