Senin Malam (1/4/2023) waktu Jakarta, orang-orang di belahan Timur yang sudah dilanda larut mengencangkan kekelaman itu sedang menunggu dua hal penting dari panggung X Factor Indonesia 2024.
—-
PERTAMA, penampilan biduan Fresly Nikijuluw dengan kidungnya yang sudah “menggoyang Indonesia”, Tamang Pung Kisah.
Kedua, Berharap Chris Tomahu yang berdarah Saparua itu untuk jadi Juara X Factor Indonesia 2024.
Sebagai tamu yang diundang, Fresly pun tampil diiring enam penari latar bergaya R&B. Sesekali tangannya terlihat memegang earphone di telinga, pertanda ada yang kurang beres dengan alat itu.
Sementara Chris Tomahu pemilik suara ‘serak-serak basah’ nan merdu itu pada akhirnya harus puas didaulat jadi runner up.
Kesemuanya itu sudah jadi bagian dari Tamang Pung Kisah, kisah tentang orang-orang dari arah Timur matahari naik yang saban generasi tak pernah putus menghibur dan menginspirasi Indonesia.
Daya hibur dan inspirasi dari manusia Maluku memang pada akhirnya mulai mendapat pengakuan secara luas di republik yang segala semboyannya di dominasi bahasa Sansekerta ini.
ELYAS PICAL
Alkisah 5 Mei 1985, sebuah pukulan uppercut kidal yang bersarang telak dirahang juara bertahan kelas bantam junior versi International Boxing Federation (IBF) asal Korsel, Jo Do Chun, telah membuat teriakan masal nan histeris Ely..Ely..Ely menggema dari Istora Senayan hingga ujung bibir samudera Pasifik di pulau Morotai, Maluku Utara.
Teriakan itu juga menggema di Desa Fakal (Fena Fafan) pedalaman Pulau Buru.
Kisah sukses Elyas Pical jadi juara dunia tinju pertama asal Indonesia tak hanya membuat demam tinju mewabah di tanah air. Presiden Soeharto pun sampai sumringah di Bina Graha, Jakarta saat memegang sabuk Juara Dunia Tinju Kelas Bulu IBF miliknya.
Itu terjadi seminggu sesudah Ely menuntaskan laga bersejarah itu.
Riwayat Ely yang inspiratif itu menunggu nyaris 4 dekade untuk difilmkan. Adalah Falcon Pictures yang merilisnya dalam bentuk serial biopik dan ditayangkan melalui layanan Prime Video pada 21 Maret 2024 silam.
Tahun 2019, kisah hidup Ely sempat mau diproduksi oleh Pratama Pradana Picture, Time International dan Summerland dalam bentuk film berjudul “The Exocat”. Namun hingga sekarang film itu belum sempat berputar di layar lebar.
GLENN FREDLY
Tak cuma Ely yang jawara adu jotos itu yang laku di mata para sineas dan sutradara. Sekelumit kisah hidup mendiang biduan romansa Glenn Fredly Deviano Latuihamallo pun sudah dijadwalkan naik ke layar bioskop pada 25 April mendatang.
Film berjudul Glenn Fredly The Movie merupakan persembahan dari Time International Films dan Adhya Pictures yang diproduksi oleh DAMN! I Love. Film ini disutradarai oleh Lukman Sardi.
Kehadiran dua film tersebut merupakan bentuk pengakuan bahwa Maluku memang punya superstar dari ring tinju hingga ranah kidung dan senandung Indonesia yang kisah hidupnya menginspirasi sehingga layak difilmkan.
1 dekade lalu, film Cahaya dari Timur: Beta Maluku tahun 2014 yang melibatkan Glenn Fredly itu sukses memberitahu Indonesia bahwa sepakbola telah membantu proses perdamaian konflik sosial di Maluku.
Film itu sukses meraih Penghargaan Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2014, sedangkan Pemeran Utamanya Chicco Jerikho meraih penghargaan Aktor Terbaik.
MENUNGGU JURUSAN TEATER & PERFILMAN
Memang sekarang ini, belum ada sutradara kaliber nasional asal Maluku yang melejit di ranah perfilman Indonesia sepeninggal Pietrajaya Burnama, Nico Pelamonia dan Butje Malawau.
Justru di Belanda sejak tahun 2013 lalu, telah muncul Jim Taihuttu dengan filmnya berjudul Rabat, yang langsung meraih sejumlah nominasi dalam Festival Film Belanda atau Nederlands Film Festival (NFF).
Pada 2013 itu juga, Jim merilis film berikutnya, Wolf. Film ini sekaligus mengantarkan dia menjadi sutradara terbaik dalam NFF tahun itu.
Tahun 2021 lalu, Filmnya De Oost yang berkisah tentang keadaan Hindia Belanda tahun 1946 selama Revolusi Nasional Indonesia ditayangkan di Mola Tv. Karyanya itu telah berhasil memenangkan NFF serta menyabet Septimius Awards sebagai Best European Film.
Kalau soal aktor dan aktris maka Maluku selalu punya regenerasi sejak era Broery Marantika menjadi pemeran utama film Akhir Sebuah Impian 1973 bersama melambungnya kidung Angin Malam dan Mimpi Sedih. Hingga sekarang ini di era Reza Rahardian Matulessy.
Selain itu, kita juga melihat festival film pendek sudah 2 kali dibuat oleh organisasi Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM). Ataupun banyaknya film-film independen dari tangan pemuda-pemudi di Maluku yang didaftarkan untuk mengikuti berbagai perlombaan di luar Maluku.
Semua fenomena ini sebetulnya menjadi momentum guna langkah positif menjajal berdirinya sebuah jurusan atau setidaknya program studi seni peran, drama, teater atau pun perfilman pada lembaga perguruan tinggi di Maluku.
Maluku sudah punya Fakultas dan program pasca sarjana mengenai musik di Institut Agama Kristen Negeri Ambon. Plus sebuah paduan orkestra dari kampus itu
Tidak ada salahnya bila kita mulai berpikir untuk menghadirkan seni peran secara ilmiah di level perguruan tinggi. Kebebasan berpikir dan berekspresi di Maluku sudah seharusnya diarahkan tanpa melupakan jiwa berkesenian yang melekat dengan manusia-manusia Maluku.
Akhirnya, Dari kidal maut Elyas Pical yang melegenda hingga nyanyian dan nada-nada romantis Glenn Fredly yang sudah difilmkan itu mengajak kita berpikir bahwa sudah waktunya seni peran menjadi bagian dari rencana pembangunan SDM Maluku.
Sehingga mungkin suatu kelak cita-cita yang belum terwujud dari sutradara legendaris Indonesia Buce Malawau untuk membuat film sejarah tentang kisah kepahlawanan “Ina Ata Dari Abubu” Martha Christina Tiahahu dapat dilaksanakan kelak oleh generasi yang lahir dari rahim pendidikan seni peran di Maluku.
Baca Juga:
Burung Surga…!
https://sentralpolitik.com/burung-surga-catatan-sentral-sepekan-terakhir/
Toh Film, seni peran dan musik adalah kesatuan yang tidak terpisahkan. Seni musik kita sudah punya, moga-moga untuk seni peran bisa terwujud. (*)
Respon (1)