SAUMLAKI, SentralPolitik.com _ Sidang lanjutan gugatan praperadilan tersangka PF berlangsung Kamis (25/7/2024) di PN Saumlaki. Kali ini tersangka PF menghadirkan Saksi Ahli Prof Dr Salmon Nirahua, SH, MHum.
Keterangan Ahli Hukum Administrasi ini ternyata kian melemahkan peluang PF untuk lolos dari jeratan. Pasalnya saksi ahli mengaku tidak menguasai KUHP.
—
Ini terungkap saat Hakim Harya Siregar mencerca ahli tentang berapa persen menguasai KUHP. Lantaran sejak awal memberikan keterangan, saksi ahli selalu berpatokan pada KUHP.
“Saya hanya menguasai secara prinsip tetapi tidak menyeluruh,” ucap saksi. Pengakuan jujur ini mendapat etensi Hakim. Hakim menggali lebih jauh lagi tentang pemahaman saksi terkait perkara yang tengah berlangsung.
Hakim mengatakan kalau dalam KUHP menjelaskan tentang proses penegakan hukum itu melibatkan tiga instansi yakni Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di KUHP juga menjelaskan kalau dalam proses penyelidikan dan penyidikan itu oleh kepolisian dan penuntutan itu Jaksa Penuntut. Tapi kalau untuk tindak pidana korupsi, penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan itu ada di JPU. Sehingga baik ketiganya ada pada instansi yang sama yakni kejaksaan.
“Apakah bisa memungkinkan kalau proses administrasinya digabung, agar proses adminitrasi lebih fleksibel karena hanya libatkan internal satu instansi. Beda halnya dengan dengan melibatkan dua instansi. Bisakah untuk lebih fleksibel?” tanya hakim kepada saksi ahli.
Nirahua mengatakan menggabung administrasinya maka akan semakin mempercepat proses penanganan kasus.
FILOSOFI UU TIPIKOR
Hakim kemudian melanjutkan dengan pemahaman ahli mengenai filosofi terbentuknya UU Tipikor. ‘’Apa urgensinya dan mengapa UU Tipikor ada, khususnya dalam pemberantasan Tipikor,’’ tanya hakim.
Sayangnya, ahli tidak dapat menjelaskan substansi pertanyaan hakim tersebut. Namun saksi lebih menanggapinya dengan menyebutkan bahwa filosofi bisa dilihat pada konsideran ‘Menimbang’ kenapa undang-undang ini harus lahirkan.
“Kalau dalam pemberantasan Tipikor itu masuk dalam kategori biasa atau luar biasa?” tanya hakim lagi.
Saksi ahli akhirnya mengakui bahwa Tipikor masuk dalam kategori luar biasa selain terorisme.
Pertanyaan Hakim Siregar yang kian mengerucut. Untuk menegakan keadilan, termohon (Kejari) inggin memberantas Tipikor yang merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
Apakah bisa dispensasi atau di-maklumkan beberapa tindakan adminitrasinya yang tidak berakibat fatal, khsususya akibatkan kerugian bagi orang lain.
“Menurut ahli bisa tidak dengan tipe kejahatan yang luar biasa ini masalah adminitrasi itu di-kesampingkan?” tanya Hakim lagi. ‘’Harus kembali pada asas legalitas,’’ jawab Nirahua.
Terus kalau dalam tindak pidana korupsi, korbannya siapa? ‘’Pada sistem pemeriksaan APBN dan APBD atau korbannya adalah negara jika berkaitan dengan APBN dan daerah jika korupsi terjadi pada APBD,’’ jawab ahli.
‘’Mengenai tipe-tipe laporan polisi apa saja yang di-ketahui saksi ahli, mengingat tidak tertuang dalam KUHP,’’ tanya Siegar. “Saya tidak tahu,” singkat saksi ahli.
ILUSTRASI HAKIM
Karena ahli mengaku tidak tahu, Hakim menceritakan ilustrasi tentang suatu kasus Tipikor. Awalnya ada pelaporan dugaan korupsi yang terjadi pada satu dinas, sebut saja Dinas PU.
Ada proyek pembangunan jembatan, yang menurut hemat warga yang melihat maupun memahami tentang konstruksi bangunan sebuah jembatan melihat adanya dugaan korupsi.
Kemudian masyarakat ini mendatangi kejaksaan untuk memasukan laporan kasus. “Pak jaksa tolong periksa pembangunan jembatan ini, menurut kami ada indikasi korupsi,’’ lanjut Siregar.
Nah dari laporan awal itu, kejaksaan kan tidak serta merta langsung menetapkan seorang tersangka. Maka kejaksaan mulai dengan penyelidikan.
Saat laporan masuk, belum ada terlapornya dan pengembangkan oleh penyidik tentang dugaan siapa yang terlibat dalam proyek pembangunan jembatan dengan anggaran Rp500 juta.
Oleh kejaksaan mulai memeriksa saksi yang terlibat dalam proyek ini yakni Pokja, PPK, kontraktor dan lainnya. Ternyata penyidik mendapat 2 orang dengan kerugian negara capai Rp200 juta.
Sayangnya dalam perjalanan, kedua terdakwa itu hanya bisa bertanggungjawab Rp100 juta. Berarti tersisa Rp100 juta lagi dan negara dirugikan. ‘’Kira-kira menurut ahli, wajib tidak hal ini diusut kejaksaan?” ujar hakim.
MELENCENG
Mendengar ilustrasi ini saksi ahli makin melenceng menjawab. Ia menegaskan kalau untuk kembali pada mekanisme untuk mengetahui adanya kerugian negara atau tidak.
“Saya tadi sudah katakan bahwa harus ada rekomendasi BPK dan rekomendasi BPK ditujukan kepada kepala daerah bahwa penyedia dalam proyek jembatan ini harus lakukan pemgembalian. Dari BPK kirim ke pimpinan daerah dan bisa juga DPR,” terang saksi ahli kepada Hakim.
Hakim kembali mempertegas pertanyaan bahwa kejaksaan sudah bekerja untuk ungkap dugaan Tipikor, tapi mengapa hasil perhitungan Kerugian negara oleh BPK ini dikirim ke bupati dan bukan ke kejaksaan.
“Menurut saya, itu kan pemeriksaan rutin. Jika kejaksaan temukan indikasi korupsi, maka kejaksaan tidak harus minta perhitungan dari BPK. Kalau masyarakat melapor, kan bukan berarti telah terjadi kerugian dan siapa yang harus bertanggungjawab,” ulas saksi panjang lebar.
Hakim akhirnya menyebut audit rutin BPK adalah opini WTP, WDP, Disclaimer.
Mendapat jawaban dari saksi ahli yang dihadirkan tersebut kian jauh dari substansi pertanyaannya, Hakim Siregar kembali bertanya, apakah warga negara tidak berhak melaporkan indikasi korupsi?
‘’Boleh saja tetapi menurut pendapat saya, masyarakat bukan korban dari dugaan korupsi itu,’’ jawab ahli.
Baca Juga:
Tersangka PF Hanya Balon, Bukan Calon Bupati; Tak Terdaftar di KPU ;https://sentralpolitik.com/tersangka-pf-hanya-balon-bukan-calon-bupati-tak-terdaftar-di-kpu/
Hakim Siregar, akhirnya mengakhiri sidang. Sidang akan berlanjut Jumat (26/7/2024) dengan agenda penyerahan kesimpulan dari pemohon serta termohon. (*)